Lampiran 8b: Korban-Korban — Mengapa Tidak Dapat Dilaksanakan Saat Ini

Halaman ini merupakan bagian dari sebuah seri yang membahas hukum-hukum Allah yang hanya dapat ditaati ketika Bait Suci masih berdiri di Yerusalem.

Apa yang Sebenarnya Dituntut oleh Hukum

Di antara semua perintah yang diberikan kepada Israel, tidak ada yang dijelaskan dengan ketelitian sebesar korban-korban. Allah merinci semuanya: jenis hewan, umur, kondisi, penanganan darah, lokasi mezbah, peran para imam, bahkan pakaian yang mereka kenakan ketika melayani. Setiap korban — korban bakaran, korban penghapus dosa, korban penebus salah, korban keselamatan, dan korban harian — mengikuti pola ilahi yang tidak menyisakan ruang bagi kreativitas pribadi atau penafsiran alternatif. “Imam harus melakukan ini… mezbah harus berada di sini… darah harus ditempatkan di sana…” Hukum Allah adalah sistem ketaatan yang tepat, bukan saran yang terbuka untuk disesuaikan.

Korban tidak pernah sekadar “membunuh seekor hewan bagi Allah.” Korban adalah tindakan kudus yang hanya dilakukan di pelataran Bait Suci (Imamat 17:3-5; Ulangan 12:5-6, 12:11-14), hanya oleh imam-imam yang dikuduskan dari garis keturunan Harun (Keluaran 28:1; 29:9; Imamat 1:5; Bilangan 18:7), dan hanya dalam kondisi kemurnian ritual (Imamat 7:19-21; 22:2-6). Orang yang beribadah tidak memilih tempatnya. Orang yang beribadah tidak memilih siapa yang memimpin. Orang yang beribadah tidak menentukan bagaimana darah ditangani atau di mana darah itu diaplikasikan. Seluruh sistem itu adalah rancangan Allah, dan ketaatan menuntut penghormatan terhadap setiap rincian dari rancangan itu (Keluaran 25:40; 26:30; Imamat 10:1-3; Ulangan 12:32).

Bagaimana Israel Menaati Perintah-Perintah Ini pada Masa Lalu

Ketika Bait Suci masih berdiri, Israel menaati hukum-hukum ini persis seperti yang diperintahkan. Generasi Musa, Yosua, Samuel, Salomo, Hizkia, Yosia, Ezra, dan Nehemia semuanya mendekati Allah melalui korban-korban yang Ia sendiri tetapkan. Tidak seorang pun mengganti mezbah. Tidak seorang pun mengimprovisasi ritual baru. Tidak seorang pun mempersembahkan korban di rumah atau dalam pertemuan-pertemuan setempat. Bahkan raja-raja — dengan segala otoritas mereka — dilarang melakukan tugas-tugas yang dikhususkan bagi para imam.

Kitab Suci berulang kali menunjukkan bahwa setiap kali Israel berusaha mengubah sistem ini — dengan mempersembahkan korban di tempat yang tidak diizinkan atau dengan membiarkan orang yang bukan imam menangani tugas-tugas kudus — Allah menolak ibadah mereka dan sering kali mendatangkan hukuman (1 Samuel 13:8-14; 2 Tawarikh 26:16-21). Kesetiaan berarti melakukan tepat seperti yang Allah firmankan, di tempat yang Ia pilih, melalui para hamba yang Ia tetapkan.

Mengapa Perintah-Perintah Ini Tidak Dapat Ditaati Saat Ini

Setelah kehancuran Bait Suci pada tahun 70 Masehi oleh bangsa Romawi, seluruh sistem korban menjadi mustahil untuk dilaksanakan. Bukan karena Allah membatalkannya, melainkan karena struktur yang ditetapkan Allah untuk menaati perintah-perintah ini tidak lagi ada. Tidak ada Bait Suci, tidak ada mezbah, tidak ada Ruang Mahakudus, tidak ada imamat yang dikuduskan, tidak ada sistem kemurnian yang ditetapkan, dan tidak ada tempat yang sah di bumi di mana darah korban dapat dipersembahkan di hadapan Allah.

Tanpa unsur-unsur ini, tidak ada yang disebut “melakukan sebaik mungkin” atau “menjaga roh hukum.” Ketaatan menuntut kondisi-kondisi yang Allah tetapkan. Ketika kondisi-kondisi itu lenyap, ketaatan menjadi mustahil — bukan karena kita menolak untuk taat, tetapi karena Allah sendiri telah menyingkirkan sarana yang diperlukan untuk memenuhi perintah-perintah khusus ini.

Apa yang Dinubuatkan Daniel tentang Berhentinya Korban-Korban

Kitab Suci sendiri sudah menubuatkan bahwa korban-korban akan berhenti — bukan karena Allah membatalkannya, melainkan karena Bait Suci akan dihancurkan. Daniel menulis bahwa “korban sembelihan dan korban sajian akan berhenti” (Daniel 9:27), tetapi ia menjelaskan penyebabnya: kota dan tempat kudus akan dimusnahkan oleh pasukan yang memusuhi (Daniel 9:26). Dalam Daniel 12:11, nabi itu kembali menyatakan bahwa korban harian akan “diambil,” ungkapan yang menggambarkan penyingkiran melalui kekerasan dan pemusnahan, bukan pembatalan sebuah hukum. Tidak ada apa pun dalam Daniel yang menunjukkan bahwa Allah mengubah perintah-perintah-Nya. Korban-korban berhenti karena Bait Suci dijadikan sunyi, persis seperti yang dinubuatkan nabi itu. Ini menegaskan bahwa Hukum itu sendiri tetap tidak tersentuh; hanya tempat yang dipilih Allah untuk ketaatan yang disingkirkan.

Kesalahan Korban yang Simbolis atau Diciptakan

Banyak kelompok Mesianik berusaha meniru sebagian sistem korban secara simbolis. Mereka mengadakan makan Paskah dan menyebutnya “korban.” Mereka membakar dupa dalam pertemuan-pertemuan. Mereka memeragakan ritual, mengayunkan persembahan, dan berpura-pura “menghormati Taurat” melalui dramatisasi. Yang lain menciptakan ajaran seperti “korban profetis,” “korban rohani,” atau “latihan untuk Bait Suci yang akan datang.” Praktik-praktik ini terasa religius, tetapi itu bukan ketaatan — itu adalah penemuan.

Allah tidak pernah meminta korban simbolis. Allah tidak pernah menerima pengganti yang diciptakan oleh imajinasi manusia. Dan Allah tidak dimuliakan ketika orang mencoba melakukan di luar Bait Suci apa yang Ia perintahkan hanya dilakukan di dalamnya. Meniru perintah-perintah ini tanpa Bait Suci bukanlah kesetiaan; itu adalah pengabaian terhadap ketelitian yang sama yang Allah gunakan ketika menetapkannya.

Korban-Korban Menantikan Bait Suci yang Hanya Allah Dapat Pulihkan

Sistem korban tidak lenyap, tidak dibatalkan, dan tidak digantikan oleh tindakan simbolis atau metafora rohani yang diciptakan oleh manusia. Tidak ada apa pun dalam Hukum, para Nabi, atau kata-kata Yesus yang pernah menyatakan bahwa perintah-perintah tentang korban-korban sudah berakhir. Yesus menegaskan keabsahan kekal dari setiap bagian Hukum, dengan mengatakan bahwa bahkan satu goresan huruf yang paling kecil pun tidak akan lenyap sampai langit dan bumi berlalu (Matius 5:17-18). Langit dan bumi masih ada. Karena itu, perintah-perintah itu tetap ada.

Di seluruh Perjanjian Lama, Allah berulang kali berjanji bahwa perjanjian-Nya dengan imamat Harun adalah “kekal” (Keluaran 29:9; Bilangan 25:13). Hukum menyebut ketetapan-ketetapan korban sebagai “ketetapan untuk selama-lamanya turun-temurun” (misalnya, Imamat 16:34; 23:14, 23:21, 23:31, 23:41). Tidak satu pun nabi pernah mengumumkan berakhirnya perintah-perintah ini. Sebaliknya, para nabi berbicara tentang masa depan ketika bangsa-bangsa menghormati Allah Israel dan rumah-Nya menjadi “rumah doa bagi segala bangsa” (Yesaya 56:7), ayat yang sama yang dikutip Yesus untuk membela kekudusan Bait Suci (Markus 11:17). Yesus tidak mengutip ayat ini untuk menandai berakhirnya Bait Suci, melainkan untuk mengecam mereka yang merusaknya.

Karena Hukum tidak pernah membatalkan korban-korban ini, dan karena Yesus tidak pernah membatalkannya, dan karena para Nabi tidak pernah mengajarkan pembatalannya, maka kita menyimpulkan hanya apa yang diizinkan Kitab Suci: perintah-perintah ini tetap merupakan bagian dari Hukum Allah yang kekal, dan perintah-perintah ini tidak dapat ditaati hari ini semata-mata karena unsur-unsur yang ditetapkan Allah sendiri — Bait Suci, imamat, mezbah, dan sistem kemurnian — tidak tersedia.

Sampai Allah memulihkan apa yang Ia sendiri singkirkan, sikap yang benar adalah kerendahan hati — bukan peniruan. Kita tidak berusaha menciptakan kembali apa yang Allah hentikan. Kita tidak memindahkan mezbah, tidak mengubah tempat, tidak mengubah ritual, dan tidak menciptakan versi simbolis. Kita mengakui Hukum, menghormati kesempurnaannya, dan menolak menambah atau mengurangi apa yang Allah perintahkan (Ulangan 4:2). Apa pun yang kurang dari itu adalah ketaatan parsial, dan ketaatan parsial adalah ketidaktaatan.



Bagikan Ini!