TIDAK SEMUA MAKHLUK HIDUP DICIPTAKAN UNTUK DIKONSUMSI
TAMAN EDEN: POLA MAKAN BERBASIS TUMBUHAN
Kebenaran ini menjadi jelas ketika kita meneliti awal mula kehidupan manusia di Taman Eden. Adam, manusia pertama, diberi tugas untuk mengusahakan dan merawat taman. Taman seperti apa? Teks Ibrani asli tidak menyebutkan secara spesifik, tetapi ada bukti kuat bahwa taman tersebut adalah kebun buah-buahan:
“Dan Tuhan Allah menanam sebuah taman di sebelah timur, di Eden… Dan dari tanah, Tuhan Allah menumbuhkan segala jenis pohon yang sedap dipandang dan baik untuk makanan” (Kejadian 2:15).
Kita juga membaca tentang peran Adam dalam memberi nama dan merawat hewan-hewan, tetapi tidak ada satu pun ayat dalam Kitab Suci yang menyebutkan bahwa mereka juga “baik untuk makanan,” seperti pohon-pohon di taman tersebut.
KONSUMSI DAGING DALAM RENCANA TUHAN
Ini tidak berarti bahwa makan daging dilarang oleh Tuhan—jika memang dilarang, pasti ada instruksi yang jelas dalam seluruh Kitab Suci. Namun, ini menunjukkan bahwa konsumsi daging bukan bagian dari pola makan manusia sejak awal penciptaannya.
Pada tahap awal kehidupan manusia, Tuhan tampaknya menyediakan makanan yang sepenuhnya berbasis tumbuhan, dengan penekanan pada buah-buahan dan bentuk vegetasi lainnya.
PERBEDAAN ANTARA HEWAN HARAM DAN HALAL
DIPERKENALKAN PADA ZAMAN NUH
Meskipun Tuhan akhirnya mengizinkan manusia untuk membunuh dan memakan hewan, Dia menetapkan perbedaan yang jelas antara hewan yang layak dikonsumsi dan yang tidak.
Pembedaan ini pertama kali tersirat dalam instruksi yang diberikan kepada Nuh sebelum air bah:
“Bawalah tujuh pasang dari setiap jenis hewan yang halal, jantan dan betinanya, dan satu pasang dari setiap jenis hewan yang haram, jantan dan betinanya” (Kejadian 7:2).
PENGETAHUAN IMPLISIT TENTANG HEWAN HALAL
Fakta bahwa Tuhan tidak menjelaskan kepada Nuh bagaimana membedakan antara hewan halal dan haram menunjukkan bahwa pengetahuan ini sudah dikenal manusia sebelumnya, kemungkinan sejak awal penciptaan.
Pembedaan ini mencerminkan tatanan dan tujuan ilahi yang lebih luas, di mana makhluk tertentu ditetapkan untuk peran atau fungsi tertentu dalam keseimbangan alam dan kerangka spiritual.
MAKNA AWAL HEWAN HALAL
TERKAIT DENGAN KORBAN PERSEMBAHAN
Berdasarkan narasi dalam Kitab Kejadian, kita dapat berasumsi bahwa sebelum air bah, perbedaan antara hewan halal dan haram hanya terkait dengan kelayakannya sebagai korban persembahan.
Persembahan Abel atas anak sulung dari kawanan ternaknya menunjukkan prinsip ini. Dalam teks Ibrani, frasa “anak sulung dari kawanan ternaknya” (מִבְּכֹרוֹת צֹאנוֹ) menggunakan kata “kawanan” (tzon, צֹאן), yang biasanya merujuk pada hewan ternak kecil seperti domba dan kambing. Oleh karena itu, sangat mungkin bahwa Abel mempersembahkan seekor anak domba atau kambing muda dari kawanan ternaknya (Kejadian 4:3-5).
KORBAN PERSEMBAHAN NUH DARI HEWAN HALAL
Demikian pula, ketika Nuh keluar dari bahtera, ia membangun altar dan mempersembahkan korban bakaran kepada Tuhan menggunakan hewan-hewan halal, yang secara khusus disebutkan dalam instruksi Tuhan sebelum air bah (Kejadian 8:20; 7:2).
Penekanan awal pada hewan halal sebagai korban persembahan menjadi dasar untuk memahami peran unik mereka dalam penyembahan dan kemurnian perjanjian.
Kata-kata Ibrani yang digunakan untuk menggambarkan kategori ini—טָהוֹר (tahor) dan טָמֵא (tamei)—bukanlah istilah sembarangan. Keduanya memiliki hubungan mendalam dengan konsep kekudusan dan pemisahan bagi Tuhan:
- טָמֵא (Tamei)
Makna: Najis, tidak murni.
Penggunaan: Mengacu pada ketidaksucian ritual, moral, atau fisik. Sering dikaitkan dengan hewan, benda, atau tindakan yang dilarang untuk dikonsumsi atau dipersembahkan.
Contoh: “Tetapi hewan-hewan ini janganlah kamu makan… karena mereka haram (tamei) bagimu” (Imamat 11:4). - טָהוֹר (Tahor)
Makna: Suci, murni.
Penggunaan: Mengacu pada hewan, benda, atau orang yang layak untuk dikonsumsi, digunakan dalam ibadah, atau dalam aktivitas ritual.
Contoh: “Haruslah kamu membedakan antara yang kudus dan yang biasa, antara yang najis dan yang tahir” (Imamat 10:10).
Istilah-istilah ini menjadi dasar bagi hukum makanan yang kemudian dirinci dalam Imamat 11 dan Ulangan 14. Bab-bab ini secara eksplisit mencantumkan hewan yang dianggap halal (dapat dimakan) dan haram (dilarang untuk dikonsumsi), memastikan bahwa umat Tuhan tetap berbeda dan kudus.
PERINGATAN TUHAN TERHADAP MAKANAN NAJIS
Sepanjang Tanakh (Perjanjian Lama), Tuhan berulang kali menegur umat-Nya karena melanggar hukum makanan-Nya. Beberapa bagian secara khusus mengecam konsumsi hewan najis, menegaskan bahwa praktik ini dianggap sebagai pemberontakan terhadap perintah Tuhan:
“Suatu bangsa yang terus-menerus menantang-Ku… yang memakan daging babi, dan yang periuk-periuknya berisi kuah daging najis” (Yesaya 65:3-4).
“Mereka yang menguduskan dan menyucikan diri untuk masuk ke taman-taman, mengikuti seorang yang di tengah-tengah mereka yang makan daging babi, tikus, dan binatang najis lainnya—mereka semua akan berakhir bersama orang yang mereka ikuti,” demikianlah firman Tuhan (Yesaya 66:17).
Teguran-teguran ini menunjukkan bahwa makan daging najis bukan sekadar masalah makanan, tetapi juga kegagalan moral dan spiritual. Tindakan mengonsumsi makanan yang dilarang secara eksplisit menunjukkan pembangkangan terhadap instruksi Tuhan.
YESUS DAN MAKANAN NAJIS
Dengan kedatangan Yesus, munculnya Kekristenan, dan penulisan Perjanjian Baru, banyak yang mulai mempertanyakan apakah Tuhan masih peduli terhadap ketaatan terhadap hukum-Nya, termasuk aturan tentang makanan najis. Faktanya, hampir seluruh dunia Kristen saat ini makan apa pun yang mereka inginkan.
Namun, tidak ada satu pun nubuat dalam Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa Mesias akan membatalkan hukum makanan najis atau hukum lainnya dari Bapa-Nya (seperti yang sering diklaim oleh sebagian orang). Yesus dengan jelas menaati perintah Bapa dalam segala hal, termasuk dalam hal ini. Jika Yesus pernah makan babi, sebagaimana kita tahu bahwa Dia makan ikan (Lukas 24:41-43) dan domba Paskah (Matius 26:17-30), maka kita pasti memiliki ajaran yang jelas melalui teladan-Nya, tetapi kita tahu bahwa hal ini tidak pernah terjadi. Tidak ada indikasi bahwa Yesus dan murid-murid-Nya mengabaikan perintah yang diberikan Tuhan melalui para nabi.
ARGUMEN YANG DIBANTAH
ARGUMEN PALSU: “Yesus menyatakan semua makanan menjadi halal”
KEBENARANNYA:
Markus 7:1-23 sering dikutip sebagai bukti bahwa Yesus menghapus hukum makanan tentang hewan najis. Namun, pemeriksaan teks dengan cermat menunjukkan bahwa interpretasi ini tidak berdasar. Ayat yang sering disalahpahami berbunyi:
“’Karena makanan tidak masuk ke dalam hatinya, tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang ke jamban.’ (Dengan ini, Ia menyatakan semua makanan menjadi halal)” (Markus 7:19, versi terjemahan modern).
KONTEKSNYA: TIDAK BERKAITAN DENGAN MAKANAN HALAL DAN HARAM
Pertama-tama, konteks perikop ini sama sekali tidak membahas soal makanan halal dan haram sebagaimana yang dijelaskan dalam Imamat 11. Sebaliknya, bagian ini berfokus pada perdebatan antara Yesus dan orang-orang Farisi mengenai tradisi Yahudi yang tidak berhubungan dengan hukum makanan. Orang-orang Farisi dan ahli Taurat memperhatikan bahwa murid-murid Yesus tidak melakukan ritual pencucian tangan sebelum makan, yang dalam bahasa Ibrani dikenal sebagai netilat yadayim (נטילת ידיים). Ritual ini melibatkan pencucian tangan dengan doa khusus dan masih dipraktikkan oleh komunitas Yahudi, terutama dalam tradisi ortodoks.
Kekhawatiran orang Farisi bukanlah tentang hukum makanan Tuhan, melainkan tentang kepatuhan terhadap tradisi buatan manusia ini. Mereka menganggap kegagalan untuk melakukan ritual ini sebagai pelanggaran terhadap adat mereka, menyamakannya dengan kenajisan.
TANGGAPAN YESUS: YANG TERPENTING ADALAH KEBERSIHAN HATI
Sebagian besar ajaran Yesus dalam Markus 7 menegaskan bahwa yang benar-benar menajiskan seseorang bukanlah praktik eksternal atau tradisi, tetapi keadaan hati. Ia menekankan bahwa kenajisan spiritual berasal dari dalam, dari pikiran dan tindakan yang berdosa, bukan dari kegagalan untuk mematuhi ritual tertentu.
Ketika Yesus menjelaskan bahwa makanan tidak menajiskan seseorang karena masuk ke sistem pencernaan dan bukan ke dalam hati, Dia tidak sedang membahas hukum makanan, tetapi tradisi pencucian tangan. Fokus-Nya adalah pada kemurnian batiniah, bukan ritual lahiriah.
PENJELASAN LEBIH LANJUT TENTANG MARKUS 7:19
Markus 7:19 sering disalahpahami karena adanya catatan tambahan dalam tanda kurung yang dimasukkan oleh penerbit Alkitab modern, yang berbunyi, “Dengan ini, Ia menyatakan semua makanan halal.” Dalam teks Yunani, kalimatnya hanya berbunyi:
“οτι ουκ εισπορευεται αυτου εις την καρδιαν αλλ εις την κοιλιαν και εις τον αφεδρωνα εκπορευεται καθαριζον παντα τα βρωματα,”
yang secara harfiah diterjemahkan sebagai:
“Karena makanan tidak masuk ke dalam hatinya, tetapi ke dalam perutnya, dan dibuang ke jamban, membersihkan semua makanan.”
Membaca kalimat “dibuang ke jamban, membersihkan semua makanan” lalu menerjemahkannya sebagai “Dengan ini, Ia menyatakan semua makanan halal” adalah upaya terang-terangan untuk memanipulasi teks agar sesuai dengan bias yang umum di kalangan seminari dan penerbit Alkitab terhadap Hukum Tuhan.
Yang lebih masuk akal adalah bahwa keseluruhan kalimat ini merupakan penjelasan Yesus dalam bahasa sehari-hari tentang proses makan. Sistem pencernaan mengolah makanan, menyerap nutrisi dan komponen yang bermanfaat bagi tubuh (bagian yang bersih), lalu membuang sisanya sebagai limbah. Frasa “membersihkan semua makanan” kemungkinan besar mengacu pada proses alami ini, di mana sistem pencernaan memisahkan zat yang berguna dari yang harus dibuang.
KESIMPULAN
Tidak ada satu pun ayat dalam Kitab Suci yang menunjukkan bahwa Yesus membatalkan hukum makanan Tuhan. Seluruh argumen yang mengklaim bahwa hukum ini telah dihapus bertentangan dengan konteks Alkitab dan tidak memiliki dasar dalam ajaran Yesus atau para nabi. Tuhan dengan jelas menyatakan dalam Imamat 11 dan Ulangan 14 bahwa perbedaan antara makanan halal dan haram adalah bagian dari ketetapan-Nya bagi umat-Nya agar mereka tetap kudus.
Sama seperti perintah lainnya, larangan terhadap makanan najis bukanlah beban, tetapi perlindungan bagi mereka yang mengasihi Tuhan dan ingin hidup sesuai dengan kehendak-Nya.
KESIMPULAN TENTANG ARGUMEN PALSU INI
Markus 7:1-23 bukanlah tentang penghapusan hukum makanan Tuhan, melainkan tentang penolakan terhadap tradisi manusia yang lebih mementingkan ritual lahiriah daripada kemurnian hati. Yesus mengajarkan bahwa kenajisan sejati berasal dari dalam diri seseorang, bukan dari kegagalan mematuhi ritual pencucian tangan. Klaim bahwa “Yesus menyatakan semua makanan halal” adalah kesalahpahaman terhadap teks, yang sering kali didasarkan pada bias terhadap hukum kekal Tuhan. Dengan membaca konteks dan bahasa aslinya secara cermat, menjadi jelas bahwa Yesus tetap memegang teguh ajaran Taurat dan tidak menghapus hukum makanan yang diberikan oleh Tuhan.
ARGUMEN PALSU: “Dalam sebuah penglihatan, Tuhan mengatakan kepada rasul Petrus bahwa kita sekarang boleh makan daging hewan apa pun”
KEBENARANNYA:
Banyak orang mengutip penglihatan Petrus dalam Kisah Para Rasul 10 sebagai bukti bahwa Tuhan menghapus hukum makanan tentang hewan najis. Namun, pemeriksaan lebih dalam terhadap konteks dan tujuan penglihatan tersebut menunjukkan bahwa hal itu tidak ada hubungannya dengan penghapusan hukum makanan halal dan haram. Sebaliknya, penglihatan ini bertujuan untuk mengajarkan Petrus agar menerima orang-orang bukan Yahudi ke dalam umat Tuhan, bukan untuk mengubah hukum makanan yang telah diberikan oleh Tuhan.
PENGERTIAN SEBENARNYA TENTANG PENGLIHATAN PETRUS
Dalam Kisah Para Rasul 10, Petrus mendapat penglihatan tentang sebuah kain yang turun dari langit, berisi berbagai macam hewan, baik yang halal maupun yang haram, disertai perintah untuk “sembelih dan makan.” Reaksi spontan Petrus sangat jelas:
“Tidak mungkin, Tuhan! Sebab aku belum pernah makan sesuatu yang haram dan najis” (Kisah Para Rasul 10:14).
Reaksi ini penting karena beberapa alasan berikut:
- Ketaatan Petrus terhadap Hukum Makanan
Penglihatan ini terjadi setelah kenaikan Yesus ke surga dan setelah pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta. Jika Yesus telah menghapus hukum makanan selama pelayanan-Nya, maka Petrus—salah satu murid terdekat-Nya—pasti sudah mengetahuinya dan tidak akan menolak perintah tersebut dengan begitu kuat. Faktanya, penolakan Petrus untuk makan hewan najis menunjukkan bahwa ia masih menaati hukum makanan dan tidak menganggap bahwa hukum tersebut telah dihapus. - Makna Sesungguhnya dari Penglihatan Ini
Penglihatan ini diulang tiga kali untuk menegaskan pentingnya pesan yang disampaikan, tetapi makna sebenarnya baru dijelaskan beberapa ayat kemudian, ketika Petrus mengunjungi rumah Kornelius, seorang bukan Yahudi. Petrus sendiri menyatakan arti dari penglihatan itu:
“Allah telah menunjukkan kepadaku bahwa aku tidak boleh menyebut seseorang najis atau haram” (Kisah Para Rasul 10:28).Penglihatan ini sama sekali bukan tentang makanan, melainkan pesan simbolis. Tuhan menggunakan gambaran hewan halal dan haram untuk mengajarkan Petrus bahwa penghalang antara orang Yahudi dan bukan Yahudi telah dihapus dan bahwa orang-orang bukan Yahudi sekarang bisa menjadi bagian dari umat perjanjian Tuhan.
KETIDAKKONSISTENAN LOGIS DENGAN ARGUMEN “HUKUM MAKANAN TELAH DIHAPUS”
Mengklaim bahwa penglihatan Petrus menghapus hukum makanan mengabaikan beberapa poin penting:
- Penolakan Awal Petrus
Jika hukum makanan sudah dihapus, keberatan Petrus tidak masuk akal. Kata-katanya mencerminkan kepatuhan terus-menerus terhadap hukum makanan, bahkan setelah bertahun-tahun mengikuti Yesus. - Tidak Ada Bukti Alkitabiah Tentang Penghapusan Hukum Makanan
Tidak ada satu pun ayat dalam Kisah Para Rasul 10 yang secara eksplisit menyatakan bahwa hukum makanan dihapus. Fokus narasi ini sepenuhnya tentang penerimaan orang bukan Yahudi, bukan perubahan terhadap hukum makanan. - Makna Simbolis dari Penglihatan Ini
Tujuan penglihatan ini menjadi jelas dalam penerapannya. Ketika Petrus menyadari bahwa Tuhan tidak membeda-bedakan orang, melainkan menerima siapa pun yang takut kepada-Nya dan melakukan kehendak-Nya (Kisah Para Rasul 10:34-35), jelas bahwa penglihatan ini berkaitan dengan penghapusan prasangka antar manusia, bukan hukum makanan. - Kontradiksi dalam Interpretasi
Jika penglihatan ini benar-benar tentang penghapusan hukum makanan, maka hal itu akan bertentangan dengan konteks yang lebih luas dalam Kisah Para Rasul, di mana orang-orang Yahudi percaya, termasuk Petrus, tetap menaati ajaran Taurat. Selain itu, jika penglihatan ini diartikan secara harfiah, maka ia hanya berbicara tentang makanan dan tidak memiliki pesan yang lebih dalam tentang penyertaan bangsa-bangsa lain dalam rencana keselamatan Tuhan.
KESIMPULAN TENTANG ARGUMEN PALSU INI
Penglihatan Petrus dalam Kisah Para Rasul 10 bukan tentang makanan, melainkan tentang manusia. Tuhan menggunakan gambaran hewan halal dan haram untuk menyampaikan kebenaran spiritual yang lebih dalam: bahwa Injil adalah untuk semua bangsa, dan bahwa orang bukan Yahudi tidak lagi dianggap najis atau terpisah dari umat Tuhan.
Menafsirkan penglihatan ini sebagai penghapusan hukum makanan adalah kesalahan besar dalam memahami konteks dan tujuan ayat ini.
Hukum makanan yang diberikan oleh Tuhan dalam Imamat 11 tetap tidak berubah dan tidak pernah menjadi fokus dari penglihatan ini. Tindakan dan penjelasan Petrus sendiri mengonfirmasi hal ini. Pesan sejati dari penglihatan ini adalah tentang menghapus batasan sosial dan etnis, bukan mengubah hukum Tuhan yang kekal.

ARGUMEN PALSU: “Dewan Yerusalem memutuskan bahwa orang-orang non-Yahudi boleh makan apa saja asalkan tidak dicekik dan tidak mengandung darah”
KEBENARAN:
Dewan Yerusalem (Kisah Para Rasul 15) sering disalahartikan seolah-olah orang-orang non-Yahudi diberi izin untuk mengabaikan sebagian besar perintah Tuhan dan hanya mengikuti empat persyaratan dasar. Namun, jika diteliti lebih lanjut, dewan ini bukan tentang menghapus hukum Tuhan bagi orang-orang non-Yahudi, melainkan tentang mempermudah partisipasi awal mereka dalam komunitas Mesianik Yahudi.
APA YANG SEBENARNYA DIBAHAS DI DEWAN YERUSALEM?
Pertanyaan utama yang dibahas dalam dewan ini adalah apakah orang-orang non-Yahudi harus sepenuhnya berkomitmen pada seluruh Taurat—termasuk sunat—sebelum diperbolehkan mendengar Injil dan berpartisipasi dalam pertemuan jemaat Mesianik yang pertama.
Selama berabad-abad, tradisi Yahudi mengajarkan bahwa orang-orang non-Yahudi harus menjadi sepenuhnya taat kepada Taurat, termasuk menjalankan sunat, memelihara hari Sabat, hukum makanan, dan perintah-perintah lainnya, sebelum seorang Yahudi dapat berinteraksi dengan mereka secara bebas (Lihat Matius 10:5-6; Yohanes 4:9; Kisah Para Rasul 10:28). Keputusan dewan ini menandai perubahan, dengan mengakui bahwa orang-orang non-Yahudi dapat memulai perjalanan iman mereka tanpa harus segera menjalankan semua hukum tersebut.
EMPAT PERSYARATAN AWAL UNTUK KEHARMONISAN
Dewan memutuskan bahwa orang-orang non-Yahudi dapat menghadiri pertemuan jemaat sebagaimana adanya, asalkan mereka menghindari praktik berikut (Kisah Para Rasul 15:20):
- Makanan yang dipersembahkan kepada berhala: Tidak makan makanan yang telah dikorbankan kepada berhala, karena penyembahan berhala sangat menyinggung orang-orang Yahudi yang percaya.
- Pelecehan seksual: Menjauhi dosa seksual, yang umum dalam praktik pagan.
- Daging dari hewan yang dicekik: Tidak memakan hewan yang dibunuh dengan cara yang tidak benar, karena masih mengandung darah, yang dilarang oleh hukum makanan Tuhan.
- Darah: Tidak mengonsumsi darah, sebuah praktik yang dilarang dalam Taurat (Imamat 17:10-12).
Persyaratan ini bukanlah ringkasan dari semua hukum yang harus diikuti oleh orang-orang non-Yahudi. Sebaliknya, ini adalah titik awal untuk memastikan perdamaian dan kesatuan antara orang-orang Yahudi dan non-Yahudi dalam jemaat yang bercampur.
APA YANG TIDAK DIMAKSUDKAN DALAM KEPUTUSAN INI
Mengklaim bahwa keempat persyaratan ini adalah satu-satunya hukum yang harus ditaati oleh orang-orang non-Yahudi untuk menyenangkan Tuhan dan menerima keselamatan adalah hal yang tidak masuk akal.
- Apakah orang-orang non-Yahudi bebas untuk melanggar Sepuluh Perintah Tuhan?
- Apakah mereka diperbolehkan menyembah allah lain, menggunakan nama Tuhan dengan sia-sia, mencuri, atau membunuh? Tentu saja tidak. Kesimpulan seperti itu akan bertentangan dengan semua ajaran Kitab Suci tentang standar kebenaran Tuhan.
- Titik Awal, Bukan Titik Akhir:
- Dewan ini menangani kebutuhan mendesak untuk mengizinkan orang-orang non-Yahudi berpartisipasi dalam pertemuan jemaat Mesianik Yahudi. Diharapkan bahwa mereka akan bertumbuh dalam pengetahuan dan ketaatan seiring waktu.
KISAH PARA RASUL 15:21 MEMBERI KEJELASAN
Keputusan dewan ini dijelaskan dalam Kisah Para Rasul 15:21:
“Sebab sejak zaman dahulu hukum Musa (Taurat) diberitakan di setiap kota dan dibacakan di rumah-rumah ibadat setiap hari Sabat.”
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang non-Yahudi akan terus belajar hukum Tuhan ketika mereka menghadiri sinagoga dan mendengar Taurat. Dewan ini tidak menghapus perintah-perintah Tuhan, tetapi menetapkan pendekatan praktis bagi orang-orang non-Yahudi untuk memulai perjalanan iman mereka tanpa merasa terbebani.
KONTEKS DARI AJARAN YESUS
Yesus sendiri menekankan pentingnya hukum Tuhan. Misalnya, dalam Matius 19:17 dan Lukas 11:28, serta dalam seluruh Khotbah di Bukit (Matius 5-7), Yesus menegaskan perlunya menaati hukum Tuhan, seperti tidak membunuh, tidak berzina, mengasihi sesama, dan banyak lagi. Prinsip-prinsip ini bersifat mendasar dan tidak mungkin diabaikan oleh para rasul.
KESIMPULAN TERHADAP ARGUMEN PALSU INI
Dewan Yerusalem tidak menyatakan bahwa orang-orang non-Yahudi boleh makan apa saja atau mengabaikan perintah Tuhan. Dewan ini membahas masalah spesifik: bagaimana orang-orang non-Yahudi dapat mulai berpartisipasi dalam jemaat Mesianik tanpa harus langsung menaati seluruh aspek Taurat. Keempat persyaratan tersebut adalah langkah praktis untuk menciptakan keharmonisan dalam komunitas Yahudi dan non-Yahudi yang bercampur.
Ekspektasi yang diberikan sangat jelas: orang-orang non-Yahudi akan terus bertumbuh dalam pemahaman mereka tentang hukum Tuhan seiring waktu melalui pengajaran Taurat yang dibacakan di sinagoga setiap hari Sabat. Mengatakan sebaliknya berarti salah menafsirkan tujuan dewan ini dan mengabaikan ajaran Kitab Suci secara keseluruhan.
ARGUMEN PALSU: “Rasul Paulus mengajarkan bahwa Kristus membatalkan kebutuhan untuk menaati hukum Tuhan demi keselamatan”
KEBENARAN:
Banyak pemimpin Kristen, jika bukan sebagian besar, secara keliru mengajarkan bahwa Rasul Paulus menentang hukum Tuhan dan menginstruksikan orang-orang non-Yahudi yang bertobat untuk mengabaikan perintah-perintah-Nya. Beberapa bahkan berpendapat bahwa menaati hukum Tuhan bisa membahayakan keselamatan. Interpretasi ini telah menyebabkan kebingungan teologis yang signifikan.
Para sarjana yang tidak setuju dengan pandangan ini telah bekerja keras untuk mengatasi kontroversi seputar tulisan-tulisan Paulus, berusaha menunjukkan bahwa ajarannya telah disalahpahami atau dikutip di luar konteks terkait hukum dan keselamatan. Namun, pelayanan kami memiliki posisi yang berbeda.
MENGAPA MENJELASKAN PAULUS ADALAH PENDEKATAN YANG SALAH
Kami percaya bahwa tidak perlu—bahkan dianggap menghina Tuhan—untuk berusaha keras menjelaskan posisi Paulus tentang hukum Tuhan. Melakukannya berarti meninggikan Paulus, seorang manusia, ke tingkat yang setara atau bahkan lebih tinggi daripada para nabi Tuhan, dan bahkan Yesus sendiri.
Pendekatan teologis yang benar adalah dengan meneliti apakah Kitab Suci sebelum Paulus pernah meramalkan atau mendukung gagasan bahwa seseorang akan datang setelah Yesus untuk mengajarkan sebuah pesan yang membatalkan hukum Tuhan. Jika memang ada nubuatan penting seperti itu, kita memiliki alasan untuk menerima ajaran Paulus dalam hal ini sebagai sesuatu yang berasal dari Tuhan, dan kita pun perlu berusaha memahaminya serta menjalankannya.
TIDAK ADA NUBUAT TENTANG PAULUS
Faktanya, Kitab Suci tidak memiliki satu pun nubuat tentang Paulus—atau siapa pun—yang membawa pesan untuk membatalkan hukum Tuhan. Satu-satunya individu yang secara eksplisit dinubuatkan dalam Perjanjian Lama dan muncul dalam Perjanjian Baru adalah:
- Yohanes Pembaptis: Perannya sebagai pendahulu Mesias telah dinubuatkan dan dikonfirmasi oleh Yesus (misalnya, Yesaya 40:3, Maleakhi 4:5-6, Matius 11:14).
- Yudas Iskariot: Referensi tidak langsung ditemukan dalam Mazmur 41:9 dan Mazmur 69:25.
- Yusuf dari Arimatea: Yesaya 53:9 secara tidak langsung merujuk kepadanya sebagai orang yang menyediakan tempat pemakaman bagi Yesus.
Selain individu-individu ini, tidak ada satu pun nubuat tentang seseorang—terlebih lagi seseorang dari Tarsus—yang diutus untuk membatalkan perintah-perintah Tuhan atau mengajarkan bahwa orang-orang non-Yahudi bisa diselamatkan tanpa menaati hukum Tuhan yang kekal.
APA YANG DINUBUATKAN YESUS TENTANG MASA SETELAH KENAIKAN-NYA
Yesus membuat banyak nubuat tentang apa yang akan terjadi setelah pelayanan-Nya di bumi, termasuk:
- Kehancuran Bait Suci (Matius 24:2).
- Penganiayaan terhadap murid-murid-Nya (Yohanes 15:20, Matius 10:22).
- Penyebaran pesan Kerajaan ke semua bangsa (Matius 24:14).
Namun, tidak ada satu pun nubuat yang menyebut seseorang dari Tarsus—apalagi Paulus—diberikan wewenang untuk mengajarkan doktrin baru atau yang bertentangan mengenai keselamatan dan ketaatan kepada hukum Tuhan.
UJIAN SEJATI TERHADAP TULISAN-TULISAN PAULUS
Ini tidak berarti bahwa kita harus menolak tulisan Paulus, atau tulisan Petrus, Yohanes, maupun Yakobus. Sebaliknya, kita harus mendekati tulisan-tulisan mereka dengan hati-hati, memastikan bahwa setiap interpretasi sejalan dengan Kitab Suci yang mendasarinya: Hukum dan Para Nabi dalam Perjanjian Lama, serta ajaran Yesus dalam Injil.
Masalahnya bukan terletak pada tulisan-tulisan itu sendiri, tetapi pada interpretasi yang telah dipaksakan oleh para teolog dan pemimpin gereja. Setiap penafsiran terhadap ajaran Paulus harus didukung oleh:
- Perjanjian Lama: Hukum Tuhan sebagaimana dinyatakan melalui para nabi-Nya.
- Keempat Injil: Perkataan dan tindakan Yesus, yang menjunjung tinggi Hukum Tuhan.
Jika suatu interpretasi tidak memenuhi kriteria ini, maka interpretasi tersebut tidak boleh diterima sebagai kebenaran.
KESIMPULAN TENTANG ARGUMEN PALSU INI
Argumen bahwa Paulus mengajarkan pembatalan hukum Tuhan, termasuk aturan makanan, tidak didukung oleh Kitab Suci. Tidak ada nubuat yang meramalkan pesan semacam itu, dan Yesus sendiri menjunjung tinggi Hukum Tuhan. Oleh karena itu, setiap ajaran yang mengklaim sebaliknya harus diuji berdasarkan Firman Tuhan yang tidak berubah.
Sebagai pengikut Mesias, kita dipanggil untuk mencari keselarasan dengan apa yang telah tertulis dan diwahyukan oleh Tuhan, bukan untuk bergantung pada interpretasi yang bertentangan dengan perintah-perintah-Nya yang kekal.
AJARAN YESUS, MELALUI PERKATAAN DAN TELADAN
Murid sejati Kristus meneladani seluruh hidup mereka berdasarkan Dia. Yesus dengan jelas menyatakan bahwa jika kita mengasihi-Nya, kita akan taat kepada Bapa dan Anak. Ini bukan tuntutan bagi mereka yang lemah, tetapi bagi mereka yang matanya tertuju pada Kerajaan Tuhan dan yang siap melakukan apa pun untuk memperoleh kehidupan kekal—meskipun itu membawa pertentangan dari teman, gereja, dan keluarga.
Perintah-perintah tentang rambut dan janggut, tzitzit, khitan, dan hari Sabat diabaikan oleh hampir seluruh Kekristenan. Mereka yang menolak untuk mengikuti mayoritas pasti akan menghadapi penganiayaan, sebagaimana Yesus telah memperingatkan kita (Matius 5:10).
Ketaatan kepada Tuhan menuntut keberanian, tetapi upahnya adalah kehidupan kekal.
DAGING-DAGING HARAM MENURUT HUKUM TUHAN

Hukum makanan Tuhan, sebagaimana tertulis dalam Taurat, secara khusus menetapkan hewan-hewan yang boleh dimakan oleh umat-Nya dan yang harus dihindari. Instruksi ini menekankan kekudusan, ketaatan, dan pemisahan dari praktik yang menajiskan. Berikut adalah daftar rinci mengenai daging-daging haram beserta referensi Kitab Suci.
1. HEWAN DARAT YANG TIDAK MEMILIKI CIRI KHAS TERNAK HALAL
- Hewan dianggap haram jika tidak memiliki kedua ciri berikut: memamah biak dan berkuku belah.
- Contoh Hewan yang Dilarang:
- Unta (gamal, גָּמָל) – Memamah biak tetapi tidak berkuku belah (Imamat 11:4).
- Kuda (sus, סוּס) – Tidak memamah biak dan tidak memiliki kuku yang terbelah.
- Babi (chazir, חֲזִיר) – Berkuku belah tetapi tidak memamah biak (Imamat 11:7).
2. MAKHLUK AIR TANPA SIRIP DAN SISIK
- Hanya ikan yang memiliki sirip dan sisik yang halal. Makhluk air yang tidak memiliki salah satu atau keduanya adalah haram.
- Contoh Makhluk yang Dilarang:
- Lele – Tidak memiliki sisik.
- Kerang dan Krustasea – Termasuk udang, kepiting, lobster, dan remis.
- Belut – Tidak memiliki sirip dan sisik.
- Cumi-cumi dan Gurita – Tidak memiliki sirip maupun sisik (Imamat 11:9-12).
3. BURUNG PEMANGSA, PEMAKAN BANGKAI, DAN BURUNG YANG DILARANG LAINNYA
- Hukum ini melarang jenis burung tertentu, biasanya yang memiliki sifat predator atau pemakan bangkai.
- Contoh Burung yang Dilarang:
- Elang (nesher, נֶשֶׁר) (Imamat 11:13).
- Burung Nasar (da’ah, דַּאָה) (Imamat 11:14).
- Gagak (orev, עֹרֵב) (Imamat 11:15).
- Burung Hantu, Elang, Cormorant, dan lainnya (Imamat 11:16-19).
4. SERANGGA TERBANG YANG BERJALAN DENGAN EMPAT KAKI
- Serangga terbang umumnya haram kecuali yang memiliki kaki belakang yang dapat melompat.
- Contoh Serangga yang Dilarang:
- Lalat, nyamuk, dan kumbang.
- Belalang dan Jangkrik diperbolehkan sebagai pengecualian (Imamat 11:20-23).
5. HEWAN MELATA DAN MERAYAP DI TANAH
- Semua makhluk yang bergerak dengan perutnya atau memiliki banyak kaki dan merayap dianggap haram.
- Contoh Makhluk yang Dilarang:
- Ular.
- Kadal.
- Tikus dan tikus mondok (Imamat 11:29-30, 11:41-42).
6. BANGKAI ATAU HEWAN YANG MATI SENDIRI
- Bahkan jika berasal dari hewan halal, bangkai atau hewan yang mati sendiri atau diterkam predator tetap dilarang untuk dikonsumsi.
- Referensi: Imamat 11:39-40, Keluaran 22:31.
7. PERSILANGAN SPESIES
- Meskipun tidak secara langsung terkait dengan makanan, persilangan spesies dilarang, yang menunjukkan perlunya kehati-hatian dalam produksi pangan.
- Referensi: Imamat 19:19.
Instruksi-instruksi ini menunjukkan keinginan Tuhan agar umat-Nya menjadi kudus dan menghormati-Nya bahkan dalam pilihan makanan mereka. Dengan menaati hukum-hukum ini, pengikut-Nya menunjukkan ketaatan dan penghormatan terhadap kesucian perintah-perintah-Nya.