LAMPIRAN 2: SUNAT DAN ORANG KRISTEN

Di antara semua perintah kudus Allah, jika saya tidak salah, sunat adalah satu-satunya yang hampir semua gereja secara keliru anggap telah dibatalkan. Konsensus ini begitu luas sehingga bahkan mantan rival doktrinal, seperti gereja Katolik dan Protestan (Pentakosta, Advent, Baptis, Presbiterian, Metodis, dll.), termasuk kelompok yang dianggap sekte seperti Mormon dan Saksi-Saksi Yehuwa, semuanya berpendapat bahwa perintah ini dihapuskan di kayu salib.

DUA ALASAN YANG SERING DIGUNAKAN UNTUK TIDAK MEMATUHI PERINTAH INI

Ada dua alasan utama mengapa pemahaman ini begitu populer di kalangan orang Kristen, meskipun Yesus tidak pernah mengajarkan doktrin semacam itu. Semua rasul dan murid Yesus, termasuk Paulus—yang tulisannya sering digunakan para pemimpin untuk “membebaskan” bangsa-bangsa non-Yahudi dari perintah Allah ini—mematuhi perintah ini.

Pemahaman ini tetap ada meskipun tidak ada nubuat dalam Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa, dengan kedatangan Mesias, umat Allah, baik Yahudi maupun non-Yahudi, akan dibebaskan dari perintah ini. Dengan kata lain, meskipun sunat selalu diwajibkan sejak zaman Abraham bagi siapa pun yang ingin menjadi bagian dari umat yang dipilih Allah untuk diselamatkan—baik keturunan Abraham maupun bukan.

SUNAT SEBAGAI TANDA FISIK PERJANJIAN

Tidak ada seorang pun yang diterima sebagai bagian dari komunitas kudus (dipisahkan dari bangsa-bangsa lain) tanpa menjalani sunat. Sunat adalah tanda fisik dari perjanjian antara Allah dan umat-Nya yang istimewa. Sekali lagi, perjanjian ini tidak terbatas pada waktu tertentu atau pada keturunan biologis Abraham, tetapi juga mencakup semua orang asing, agar mereka secara resmi dimasukkan ke dalam komunitas dan dianggap setara di hadapan Allah.

Allah dengan jelas menyatakan: “Ini berlaku bukan hanya untuk anggota keluargamu, tetapi juga untuk hamba-hamba yang lahir di rumahmu dan hamba-hamba asing yang kamu beli. Baik mereka lahir di rumahmu maupun kamu membelinya, semua harus disunat. Mereka akan memiliki tanda perjanjian-Ku yang kekal di tubuh mereka” (Kejadian 17:12-13).

KEWAJIBAN SUNAT BAGI BANGSA NON-YAHUDI

Jika bangsa-bangsa non-Yahudi benar-benar tidak membutuhkan tanda fisik ini untuk menjadi bagian dari umat yang dipisahkan oleh Tuhan, maka tidak ada alasan bagi Allah untuk mewajibkan sunat sebelum kedatangan Mesias, tetapi tidak setelahnya. Agar hal ini benar, harus ada informasi semacam itu dalam nubuat, dan Yesus harus memberi tahu kita bahwa hal ini akan terjadi setelah kenaikan-Nya.

Namun, tidak ada satu pun pernyataan dalam Perjanjian Lama tentang inklusi bangsa-bangsa non-Yahudi dalam umat Allah yang menyebutkan bahwa mereka akan dibebaskan dari perintah mana pun, termasuk sunat, hanya karena mereka bukan keturunan biologis Abraham.

SEMUA PERINTAH BERLAKU UNTUK BANGSA NON-YAHUDI

Baik keturunan biologis Abraham maupun bangsa non-Yahudi yang bergabung dengan umat Allah harus menaati semua perintah, tanpa pengecualian: “Ada satu hukum yang sama untuk kamu dan untuk pendatang (גר, ger) yang tinggal di tengah-tengahmu; ini adalah ketetapan yang berlaku untuk selamanya di segala generasi kamu. Hukum dan peraturan yang sama berlaku baik untuk kamu maupun untuk pendatang yang tinggal di tengah-tengahmu (גר)” (Bilangan 15:15-16).

PENDATANG YANG TINGGAL (GER)

(Semua bangsa non-Yahudi, di masa lalu dan sekarang, yang ingin menjadi bagian dari umat Allah)

Istilah (גר, ger) merujuk pada seorang pendatang, individu non-Yahudi yang tinggal secara permanen di antara orang Israel dan berkomitmen untuk mengikuti hukum dan praktik keimanan mereka kepada satu-satunya Allah yang benar. Ger berbeda dari jenis bangsa non-Yahudi lainnya yang berinteraksi dengan Israel, karena dia terintegrasi ke dalam komunitas dan mengadopsi gaya hidup yang identik dengan orang Israel, termasuk ketaatan pada hukum-hukum kudus Allah.

JENIS-JENIS BANGSA ASING LAINNYA

  1. Nokri (נכרי):
    • Seorang asing yang tidak memiliki hubungan dengan komunitas Israel dan umumnya dianggap sebagai pengunjung atau pedagang sementara.
    • Mereka tidak diwajibkan mengikuti hukum Israel, tetapi harus menghormati beberapa aturan dasar selama berada di wilayah Israel.
  2. Toshav (תושב):
    • Istilah ini dapat merujuk pada penduduk sementara atau imigran yang tinggal di antara orang Israel, tetapi tidak berkomitmen untuk sepenuhnya menaati hukum-hukum agama Israel.
    • Meskipun mereka dapat tinggal dalam waktu lama di wilayah Israel, mereka tidak memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti gerim (bentuk jamak dari ger).

STATUS KHUSUS GER

Ger memiliki status istimewa karena dengan menerima hukum-hukum Allah, mereka dapat sepenuhnya berpartisipasi dalam kehidupan agama dan sosial komunitas. Ini termasuk berpartisipasi dalam pengorbanan dan perayaan.

ALASAN PERTAMA

Alasan pertama mengapa gereja-gereja secara keliru mengajarkan bahwa perintah sunat telah dibatalkan—tanpa pernah menyebutkan siapa yang membatalkannya—berakar pada kesulitan untuk mematuhi perintah ini. Para pemimpin gereja takut bahwa jika mereka menerima dan mengajarkan kebenaran bahwa Allah tidak pernah memberikan instruksi semacam itu, mereka akan kehilangan banyak jemaat.

Secara umum, memang benar bahwa ini adalah perintah yang sulit untuk dilakukan. Selalu sulit, dan tetap sulit hingga sekarang. Bahkan dengan kemajuan medis, seorang Kristen yang memutuskan untuk mematuhi perintah ini harus mencari profesional medis, membayar biaya dari kantong sendiri (karena biasanya asuransi kesehatan tidak menanggung), menjalani prosedur itu sendiri, menghadapi ketidaknyamanan pasca-operasi, serta stigma yang muncul, termasuk oposisi dari keluarga, teman, dan gereja. Seorang pria harus benar-benar bertekad untuk mematuhi perintah Tuhan ini agar bisa melangkah maju; jika tidak, ia akan dengan mudah menyerah. Ada banyak dorongan untuk menyerah. Saya tahu ini karena saya harus melalui semua itu pada usia 63 tahun, ketika saya disunat dalam ketaatan kepada perintah Tuhan.

ALASAN KEDUA

Alasan kedua, dan yang pasti utama, adalah bahwa gereja tidak memiliki konsep yang benar tentang delegasi atau otorisasi ilahi. Kurangnya pemahaman ini dieksploitasi sejak awal oleh iblis ketika, hanya beberapa dekade setelah kenaikan Yesus, perselisihan kekuasaan mulai muncul di antara para pemimpin gereja. Hal ini berpuncak pada kesimpulan yang absurd bahwa Allah telah mendelegasikan kepada Petrus dan penerusnya otoritas untuk melakukan perubahan apa pun yang mereka inginkan terhadap Hukum Allah.

Penyimpangan ini tidak terbatas pada sunat saja, tetapi juga mencakup banyak perintah lain dalam Perjanjian Lama yang selalu ditaati oleh Yesus dan pengikut-Nya. Terinspirasi oleh iblis, gereja mengabaikan fakta bahwa setiap delegasi otoritas atas Hukum Allah yang kudus harus datang dari Allah sendiri, melalui nabi-nabi-Nya dalam Perjanjian Lama atau melalui Mesias-Nya. Tidak dapat dibayangkan bahwa manusia biasa akan memberikan otoritas kepada diri mereka sendiri untuk mengubah sesuatu yang begitu berharga bagi Allah seperti Hukum-Nya.

DOSA MENAMBAH ATAU MENGURANGI WAHYU DARI PERJANJIAN LAMA

Tidak ada nabi Tuhan, apalagi Yesus, yang memperingatkan bahwa Bapa, setelah kedatangan Mesias, akan memberikan kuasa atau inspirasi kepada siapa pun—baik individu maupun kelompok, di dalam atau di luar Alkitab—untuk membatalkan, mengubah, atau memperbarui satu pun dari perintah-Nya. Sebaliknya, Tuhan dengan jelas menyatakan bahwa melakukan hal tersebut adalah dosa besar: “Janganlah kamu menambah apa pun pada apa yang kuperintahkan kepadamu, dan janganlah kamu mengurangi apa pun daripadanya, tetapi taatilah perintah Tuhan, Allahmu, yang kuperintahkan kepadamu” (Ulangan 4:2).

Masalah lain yang penting adalah hilangnya hubungan individual antara makhluk dengan Penciptanya. Fungsi gereja seharusnya tidak pernah menjadi perantara antara Allah dan manusia. Namun, sejak awal era Kristen, gereja mengambil peran tersebut. Alih-alih setiap orang percaya, yang dibimbing oleh Roh Kudus, berhubungan langsung dengan Bapa dan Anak, semua mulai bergantung sepenuhnya pada para pemimpin mereka untuk menentukan apa yang diperbolehkan atau dilarang oleh Tuhan.

Masalah serius ini sebagian besar terjadi karena, hingga Reformasi pada abad ke-16, akses terhadap Kitab Suci adalah hak istimewa gereja. Membaca Alkitab secara pribadi dilarang bagi orang biasa, dengan alasan bahwa mereka tidak mampu memahaminya tanpa interpretasi dari para rohaniwan.

PENGARUH PARA PEMIMPIN TERHADAP UMAT

Lima abad telah berlalu, dan meskipun sekarang setiap orang memiliki akses ke Kitab Suci, umat tetap sepenuhnya bergantung pada apa yang diajarkan oleh para pemimpin mereka, baik benar maupun salah. Mereka masih tidak mampu belajar dan bertindak sendiri terhadap apa yang Allah tuntut dari setiap individu.

Ajaran-ajaran yang salah tentang perintah-perintah kudus dan kekal Allah yang terjadi sebelum Reformasi terus diwariskan dari generasi ke generasi melalui seminari dari semua denominasi.

Sepengetahuan saya, tidak ada satu pun lembaga Kristen yang mengajarkan kepada para pemimpin masa depan apa yang Yesus ajarkan: bahwa tidak ada satu pun perintah Allah yang kehilangan validitasnya setelah kedatangan Mesias.

Yesus berkata: “Karena sesungguhnya Aku berkata kepadamu: sebelum langit dan bumi berlalu, satu titik atau satu iota pun tidak akan berlalu dari Hukum Taurat, sampai semuanya digenapi. Karena itu, siapa pun yang melanggar salah satu dari perintah ini, sekalipun yang terkecil, dan mengajarkannya kepada orang lain, akan disebut yang terkecil di dalam kerajaan surga. Tetapi siapa yang menaati dan mengajarkannya, akan disebut besar di dalam kerajaan surga” (Matius 5:18-19).

KETAATAN SEBAGIAN OLEH BEBERAPA DENOMINASI

Beberapa gereja benar-benar berusaha mengajarkan bahwa perintah-perintah Tuhan itu kekal dan berlaku untuk segala zaman. Namun, secara menarik, gereja-gereja ini cenderung membatasi daftar perintah yang mereka anggap wajib ditaati. Biasanya, mereka dengan tegas mempertahankan Sepuluh Perintah (termasuk Sabat, yang disebutkan dalam perintah keempat) dan hukum makanan dalam Imamat 11, tetapi tidak lebih dari itu.

Yang lebih aneh adalah bahwa pemilihan ini tidak disertai dengan penjelasan yang jelas berdasarkan Perjanjian Lama atau keempat Injil yang menjelaskan mengapa perintah-perintah tertentu dianggap wajib, sementara perintah lainnya—seperti penggunaan rambut dan janggut, tzitzit, atau sunat—tidak disebutkan atau didukung. Hal ini menimbulkan pertanyaan: jika semua perintah Tuhan itu kudus dan adil, mengapa memilih untuk menaati beberapa tetapi tidak semuanya?

PERJANJIAN KEKAL

Sunat adalah tanda perjanjian kekal antara Allah dan umat-Nya, yaitu sekelompok manusia yang kudus dan dipisahkan dari populasi lainnya. Kelompok ini selalu terbuka untuk semua orang dan tidak pernah terbatas hanya pada keturunan biologis Abraham, seperti yang dibayangkan beberapa orang.

Sejak Tuhan menetapkan Abraham sebagai yang pertama dalam kelompok ini, Tuhan menetapkan sunat sebagai tanda fisik dan kekal dari perjanjian itu. Jelas bahwa baik keturunan biologisnya maupun mereka yang bukan keturunannya harus memiliki tanda fisik ini jika ingin menjadi bagian dari umat-Nya.

SURAT-SURAT RASUL PAULUS ADA DALAM ALKITAB DAN MERUPAKAN BAGIAN DARI IMAN KRISTEN

Salah satu upaya pertama untuk mengumpulkan berbagai tulisan yang muncul setelah kenaikan Kristus dilakukan oleh Marcion, seorang pemilik armada kapal yang kaya, pada abad kedua. Marcion adalah pengikut Paulus yang sangat setia tetapi membenci orang Yahudi. Alkitab versinya terutama terdiri dari tulisan-tulisan Paulus dan sebuah Injil miliknya sendiri, yang dianggap oleh banyak orang sebagai hasil plagiarisme dari Injil Lukas. Semua Injil dan surat lainnya ia anggap sebagai ciptaan tanpa inspirasi ilahi. Dalam versinya, semua referensi ke Perjanjian Lama dihapus, karena ia memahami dan mengajarkan bahwa Allah sebelum Yesus bukanlah Allah yang sama dengan yang diajarkan oleh Paulus.

KANON RESMI PERTAMA GEREJA KATOLIK

Kanon Perjanjian Baru pertama kali secara resmi diakui pada akhir abad keempat, sekitar 350 tahun setelah Yesus kembali kepada Bapa. Konsili Gereja Katolik, yang berbasis di Roma, Hippo (393), dan Kartago (397), memainkan peran penting dalam penerimaan 27 kitab Perjanjian Baru seperti yang kita kenal sekarang. Konsili ini membantu mengkonsolidasikan kanon sebagai tanggapan terhadap berbagai interpretasi dan teks yang beredar di komunitas Kristen.

PERAN USKUP ROMA DALAM PEMBENTUKAN ALKITAB: INKLUSI SURAT-SURAT PAULUS PADA ABAD KEEMPAT

Surat-surat Paulus dimasukkan dalam kumpulan tulisan yang disahkan oleh Roma pada abad keempat. Kumpulan tulisan yang dianggap suci oleh Gereja Katolik disebut Biblia Sacra dalam bahasa Latin dan Τὰ βιβλία τὰ ἅγια (ta biblia ta hagia) dalam bahasa Yunani. Setelah berabad-abad perdebatan tentang tulisan mana yang harus dimasukkan dalam koleksi resmi, para uskup gereja menyetujui dan mendeklarasikan sebagai suci: Perjanjian Lama dari tradisi Yahudi, empat Injil, Kitab Kisah Para Rasul (yang dikaitkan dengan Lukas), surat-surat kepada jemaat, termasuk surat-surat Paulus, dan Kitab Wahyu yang ditulis oleh Yohanes.

PERJANJIAN LAMA SEBAGAI DASAR AJARAN YESUS

Perlu dicatat bahwa pada zaman Yesus, semua orang Yahudi, termasuk Yesus sendiri, hanya membaca dan mengutip Perjanjian Lama dalam ajaran mereka. Praktik ini terutama didasarkan pada teks versi Yunani, yang dikenal sebagai Septuaginta, yang dikompilasi sekitar tiga abad sebelum Kristus.

TULISAN PAULUS DAN MASALAH PENAFSIRAN

Tulisan Paulus, seperti juga tulisan penulis lainnya setelah Yesus, dimasukkan ke dalam Alkitab resmi yang disahkan oleh Gereja berabad-abad yang lalu. Karena itu, tulisan-tulisan ini dianggap fundamental bagi iman Kristen. Namun, masalahnya tidak terletak pada Paulus, melainkan pada penafsiran teks-teksnya.

Kita tahu bahwa surat-suratnya ditulis dengan gaya yang kompleks dan sulit dipahami. Kesulitan ini bahkan sudah diakui pada saat surat-surat itu ditulis (seperti disebutkan dalam 2 Petrus 3:16), ketika konteks budaya dan sejarahnya masih akrab bagi pembaca aslinya. Bayangkan betapa lebih sulitnya menafsirkan teks-teks ini berabad-abad kemudian, dalam konteks yang sama sekali berbeda.

MASALAH KEWENANGAN DAN PENAFSIRANNYA

Masalah utamanya bukanlah relevansi tulisan-tulisannya, tetapi prinsip dasar tentang otoritas dan transfernya. Seperti yang telah dijelaskan, otoritas yang Gereja atribusikan kepada Paulus untuk membatalkan, menghapus, mengoreksi, atau memperbarui perintah-perintah Tuhan yang kudus dan kekal tidak memiliki dukungan dari Kitab Suci sebelumnya. Karena itu, otoritas semacam itu tidak berasal dari Tuhan.

Tidak ada nubuat dalam Perjanjian Lama atau Injil yang menunjukkan bahwa setelah kedatangan Mesias, Tuhan akan mengirim seorang pria dari Tarsus yang harus didengar dan diikuti oleh semua orang.

PENTINGNYA MENYELARASKAN PENAFSIRAN SURAT-SURAT DENGAN PERJANJIAN LAMA DAN INJIL

Ini berarti bahwa setiap pemahaman atau penafsiran terhadap apa yang Paulus tulis tidak benar jika tidak selaras dengan wahyu sebelumnya. Oleh karena itu, seorang Kristen yang benar-benar takut kepada Allah dan Firman-Nya harus menolak penjelasan apa pun tentang surat-surat Paulus atau penulis lainnya yang tidak selaras dengan apa yang Tuhan wahyukan melalui nabi-nabi-Nya dalam Perjanjian Lama dan melalui Mesias-Nya, Yesus.

Seorang Kristen harus memiliki kebijaksanaan dan kerendahan hati untuk berkata:
“Saya tidak memahami bagian ini, dan penjelasan yang saya baca salah karena tidak didukung oleh para nabi Tuhan dan oleh kata-kata yang keluar dari mulut Yesus. Saya akan mengesampingkannya sampai suatu hari, jika itu kehendak Tuhan, Dia menjelaskan kepada saya.”

UJIAN BESAR BAGI BANGSA NON-YAHUDI

Kita dapat menganggap ini sebagai ujian paling signifikan yang Tuhan tetapkan bagi bangsa non-Yahudi, sebuah ujian yang sebanding dengan yang dihadapi oleh bangsa Israel selama perjalanan mereka menuju Kanaan. Seperti yang tertulis dalam Ulangan 8:2:
“Ingatlah bagaimana Tuhan, Allahmu, memimpin engkau di padang gurun selama empat puluh tahun, untuk merendahkan hatimu dan menguji engkau, untuk mengetahui apakah engkau akan menaati perintah-perintah-Nya atau tidak.”

Dalam konteks ini, Tuhan sedang mencari siapa di antara bangsa non-Yahudi yang benar-benar bersedia bergabung dengan umat-Nya yang kudus.

Mereka yang memutuskan untuk menaati semua perintah, termasuk sunat, melakukannya meskipun menghadapi tekanan besar dari gereja. Hal ini terjadi bahkan ketika beberapa bagian dalam surat-surat kepada jemaat tampaknya menyatakan bahwa berbagai perintah, yang dijelaskan sebagai kekal oleh para nabi dan dalam Injil, telah dicabut untuk bangsa non-Yahudi.

SUNAT FISIK DAN SUNAT HATI

Penting untuk dijelaskan bahwa tidak ada dua jenis sunat, tetapi hanya satu: yang fisik. Hal ini seharusnya jelas bagi semua orang bahwa istilah “sunat hati,” yang digunakan di seluruh Alkitab, sepenuhnya bersifat figuratif, mirip dengan ungkapan seperti “hati yang hancur” atau “hati yang gembira.” Ketika Alkitab menyatakan bahwa seseorang tidak bersunat hati, itu hanya berarti bahwa orang tersebut tidak hidup sebagaimana mestinya jika dia benar-benar mengasihi Allah dan bersedia menaati-Nya.

Dengan kata lain, orang tersebut mungkin telah disunat secara fisik, tetapi cara hidupnya tidak sesuai dengan jenis kehidupan yang diharapkan Allah dari umat-Nya.

SUNAT HATI DALAM KONTEKS ISRAEL

Melalui nabi Yeremia, Allah menyatakan bahwa seluruh Israel berada dalam keadaan “tidak bersunat hati”:
“Karena semua bangsa tidak bersunat, dan segenap kaum Israel tidak bersunat hatinya” (Yeremia 9:26).

Jelas bahwa mereka semua telah disunat secara fisik. Namun, dengan menjauhkan diri dari Allah dan meninggalkan Hukum-Nya yang kudus, mereka ditegur karena tidak juga bersunat hati.

KEWAJIBAN SUNAT UNTUK SEMUA ANAK ALLAH

Semua anak Allah laki-laki, baik Yahudi maupun non-Yahudi, harus disunat, tidak hanya secara fisik tetapi juga secara hati. Hal ini terlihat jelas dalam firman Tuhan:
“Oleh karena itu, beginilah firman Tuhan Yang Mahakuasa: Tidak ada orang asing, bahkan mereka yang tinggal di antara umat Israel, yang boleh memasuki tempat kudus-Ku jika mereka belum disunat, baik tubuh maupun hati mereka” (Yehezkiel 44:9).

KESIMPULAN
  • Konsep sunat hati telah ada sejak lama dan tidak diperkenalkan dalam Perjanjian Baru untuk menggantikan sunat fisik yang sebenarnya.
  • Sunat diwajibkan bagi semua yang menjadi bagian dari umat Allah, baik Yahudi maupun non-Yahudi.

SUNAT DAN BAPTISAN AIR

Beberapa orang secara keliru membayangkan bahwa baptisan air diadakan untuk menggantikan sunat bagi orang Kristen. Namun, pernyataan ini jelas hanyalah ciptaan manusia, sebuah upaya untuk menghindari ketaatan terhadap perintah Tuhan.

Jika pernyataan itu benar, kita seharusnya menemukan ayat-ayat dalam kitab para nabi atau Injil yang menunjukkan bahwa setelah kenaikan Mesias, Tuhan tidak lagi mewajibkan sunat bagi bangsa non-Yahudi yang ingin menjadi bagian dari umat-Nya, dan bahwa baptisan akan menggantikannya. Namun, ayat-ayat semacam itu tidak ada.

BAPTISAN AIR SEBELUM KEKRISTENAN

Penting untuk diingat bahwa baptisan air sudah ada sebelum munculnya kekristenan. Yohanes Pembaptis bukanlah “penemu” atau “pelopor” baptisan.

Baptisan, atau mikveh (מִקְוָה) dalam bahasa Ibrani, adalah ritual perendaman yang sudah umum di kalangan orang Yahudi jauh sebelum kedatangan Yohanes. Mikveh melambangkan penyucian dari dosa dan kenajisan ritual. Ketika seorang bangsa non-Yahudi disunat, ia juga menjalani mikveh.

SIMBOLISME DALAM MIKVEH

Ritual ini tidak hanya untuk penyucian, tetapi juga memiliki makna simbolis. Mikveh melambangkan kematian – seperti “dikuburkan” di dalam air – dari kehidupan lamanya yang kafir. Ketika ia keluar dari air, itu seperti keluar dari cairan ketuban di rahim, melambangkan kelahiran kembali ke dalam kehidupan barunya sebagai seorang Yahudi.

YOHANES PEMBAPTIS: MEMBERIKAN MAKNA BARU

Yohanes Pembaptis tidak menciptakan ritual baru. Sebaliknya, ia memberikan makna baru pada ritual yang sudah ada:

  • Tidak hanya bangsa non-Yahudi yang “mati” terhadap kehidupan lama mereka dan “dihidupkan kembali” sebagai Yahudi.
  • Yohanes mengajarkan bahwa orang Yahudi yang hidup dalam dosa juga perlu “mati” dan “lahir kembali” melalui tindakan pertobatan.

Namun, ini bukan berarti perendaman tersebut menjadi yang terakhir kali mereka melakukannya. Orang Yahudi biasa menjalani mikveh setiap kali mereka menjadi najis secara ritual, misalnya sebelum pergi ke Bait Allah. Bahkan hingga hari ini, banyak orang Yahudi masih menjalani mikveh pada Yom Kippur sebagai tanda pertobatan.



Bagikan Ini!