Tidak semua makhluk hidup diciptakan untuk menjadi makanan bagi manusia. Kebenaran ini menjadi jelas ketika kita memeriksa awal mula keberadaan manusia di Taman Eden. Adam, manusia pertama, diberi tugas untuk mengelola sebuah taman. Taman seperti apa? Teks Ibrani asli tidak menjelaskan secara spesifik, tetapi ada bukti kuat bahwa itu adalah taman buah-buahan:
“Tuhan Allah menanam sebuah taman di Eden, di sebelah timur… dan dari tanah itu Tuhan Allah menumbuhkan segala pohon yang sedap dipandang mata dan baik untuk makanan” (Kejadian 2:15).
Kita juga membaca tentang peran Adam dalam memberi nama dan merawat binatang, tetapi tidak ada bagian dari Kitab Suci yang menunjukkan bahwa mereka juga “baik untuk makanan” seperti pohon-pohon. Hal ini bukan berarti bahwa makan daging dilarang oleh Tuhan—jika memang dilarang, tentu akan ada perintah yang eksplisit di seluruh Kitab Suci. Namun, hal ini menunjukkan bahwa konsumsi daging hewan bukanlah bagian dari diet manusia sejak awal. Penyediaan awal Tuhan bagi manusia tampaknya sepenuhnya berbasis tumbuhan, dengan penekanan pada buah-buahan dan bentuk vegetasi lainnya.
PEMBEDAAN ANTARA HEWAN YANG HALAL DAN HARAM
Walaupun Tuhan pada akhirnya mengizinkan manusia untuk membunuh dan memakan hewan, Tuhan menetapkan perbedaan yang jelas antara hewan yang layak untuk dimakan dan yang tidak. Perbedaan ini pertama kali disiratkan dalam perintah yang diberikan kepada Nuh sebelum air bah:
“Bawalah bersamamu tujuh pasang dari setiap jenis hewan yang halal, jantan dan betinanya, dan sepasang dari setiap jenis hewan yang haram, jantan dan betinanya” (Kejadian 7:2).
Fakta bahwa Tuhan tidak menjelaskan kepada Nuh bagaimana membedakan antara hewan yang halal dan haram menunjukkan bahwa pengetahuan tersebut sudah tertanam dalam umat manusia, kemungkinan sejak awal penciptaan. Pengakuan akan hewan halal dan haram ini dapat dianggap sebagai cerminan dari tatanan dan tujuan ilahi yang lebih luas, di mana makhluk tertentu ditetapkan untuk peran atau tujuan tertentu dalam kerangka alami dan spiritual. Seiring perkembangan Kitab Suci, perbedaan ini menjadi lebih terkodefikasi dan diperjelas, menyoroti pentingnya dalam hubungan perjanjian antara Tuhan dan umat-Nya.
MAKNA AWAL DARI HEWAN YANG TAHIR
Berdasarkan apa yang telah terjadi sejauh ini dalam narasi Kitab Kejadian, kita dapat dengan aman mengatakan bahwa, sampai air bah, perbedaan antara hewan yang tahir dan najis hanya berkaitan dengan kelayakannya untuk dikorbankan. Persembahan Habel atas anak sulung dari kawanan ternaknya menekankan prinsip ini. Dalam teks Ibrani, frasa “anak sulung dari kawanan ternaknya” (מִבְּכֹרוֹת צֹאנוֹ) menggunakan kata “kawanan domba” (צֹאן, tzon), yang biasanya merujuk pada hewan-hewan kecil yang dijinakkan seperti domba dan kambing. Oleh karena itu, sangat mungkin Habel mempersembahkan seekor domba atau kambing dari kawanan ternaknya (Kejadian 4:3-5).
Demikian pula, ketika Nuh meninggalkan bahtera, ia membangun mezbah dan mempersembahkan korban bakaran kepada Tuhan dengan menggunakan hewan yang tidak haram, yang secara khusus disebutkan dalam instruksi Tuhan sebelum air bah (Kejadian 8:20; 7:2). Penekanan awal pada hewan yang tidak bercacat untuk dikorbankan ini menjadi dasar untuk memahami peran eksklusif hewan-hewan tersebut dalam ibadah dan kemurnian perjanjian.
Kata-kata Ibrani yang digunakan untuk menggambarkan kategori ini—tahor (טָהוֹר) dan tamei (טָמֵא)—tidaklah sewenang-wenang. Kata-kata ini sangat terkait dengan konsep kesucian dan pemisahan untuk Tuhan:
- טָמֵא (Tamei)
Makna: Haram, najis.
Penggunaan: Mengacu pada kenajisan ritual, moral, atau fisik. Seringkali terkait dengan hewan, benda, atau tindakan yang dilarang untuk konsumsi atau ibadah.
Contoh: “Namun, yang berikut ini tidak boleh kamu makan… mereka haram (tamei) bagimu” (Imamat 11:4). - טָהוֹר (Tahor)
Makna: Halal, suci.
Penggunaan: Mengacu pada hewan, benda, atau orang yang layak untuk konsumsi, ibadah, atau aktivitas ritual.
Contoh: “Kamu harus membedakan antara yang kudus dan yang biasa, dan antara yang najis dan yang tahir” (Imamat 10:10).
Kata-kata ini menjadi dasar dari hukum makanan Tuhan, yang kemudian dirinci dalam Imamat 11 dan Ulangan 14. Bab-bab ini secara eksplisit mencantumkan hewan-hewan yang dianggap halal (diperbolehkan untuk makanan) dan haram (dilarang untuk dimakan), memastikan bahwa umat Tuhan tetap kudus dan berbeda.
PERINGATAN TUHAN TENTANG MAKAN DAGING YANG HARAM
Sepanjang Tanakh (Perjanjian Lama), Tuhan berulang kali menegur umat-Nya karena melanggar hukum makanan-Nya. Beberapa ayat secara khusus mengecam konsumsi hewan haram, menekankan bahwa praktik ini dianggap sebagai pemberontakan terhadap perintah Tuhan:
“Suatu bangsa yang terus-menerus menyakiti Aku di hadapan-Ku… yang memakan daging babi, dan periuk mereka berisi kuah daging yang najis” (Yesaya 65:3-4).
“Mereka yang menguduskan dan menyucikan diri untuk pergi ke taman-taman, mengikuti satu orang di antara mereka yang memakan daging babi, tikus, dan hewan-hewan haram lainnya—mereka akan binasa bersama dengan orang yang mereka ikuti,” demikianlah firman Tuhan (Yesaya 66:17).
Teguran-teguran ini menyoroti bahwa makan daging haram bukan hanya masalah diet, tetapi juga kegagalan moral dan spiritual. Tindakan mengonsumsi makanan yang jelas-jelas dilarang terkait dengan pembangkangan terhadap perintah Tuhan. Dengan terlibat dalam praktik-praktik yang secara eksplisit dilarang, umat menunjukkan pengabaian terhadap kesucian dan ketaatan.
YESUS DAN MAKANAN HARAM
Dengan kedatangan Yesus, munculnya Kekristenan, dan penulisan Perjanjian Baru, banyak orang mulai mempertanyakan apakah Tuhan tidak lagi peduli pada ketaatan terhadap hukum-Nya, termasuk peraturan-Nya tentang makanan haram. Pada kenyataannya, hampir seluruh dunia Kristen makan apa saja yang mereka inginkan.
Namun, faktanya adalah tidak ada nubuat dalam Perjanjian Lama yang mengatakan bahwa Mesias akan membatalkan hukum tentang makanan haram, atau hukum lainnya dari Bapa-Nya (sebagaimana yang diklaim beberapa orang). Yesus dengan jelas menaati semua ketetapan Bapa-Nya, termasuk dalam hal ini. Jika Yesus pernah makan daging babi, seperti yang kita tahu bahwa Dia makan ikan (Lukas 24:41-43) dan domba (Matius 26:17-30), maka kita akan memiliki pengajaran yang jelas melalui teladan-Nya. Tetapi, kita tahu bahwa hal itu tidak pernah terjadi. Tidak ada indikasi bahwa Yesus dan murid-murid-Nya melanggar instruksi yang diberikan oleh Tuhan melalui para nabi.
ARGUMEN YANG DITOLAK
ARGUMEN PALSU: “Yesus menyatakan semua makanan halal.”
FAKTA: Markus 7:1-23 sering dikutip sebagai bukti bahwa Yesus membatalkan hukum makanan mengenai makanan haram. Namun, pemeriksaan yang cermat terhadap teks tersebut menunjukkan bahwa interpretasi ini tidak berdasar. Ayat yang sering salah kutip itu berbunyi:
“‘Karena makanan tidak masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perut, lalu dibuang.’ (Dengan ini Ia menyatakan semua makanan halal)” (Markus 7:19).
KONTEKS: BUKAN TENTANG MAKANAN HALAL DAN HARAM
Pertama-tama, konteks dari bagian ini sama sekali tidak berkaitan dengan makanan halal atau haram seperti yang dijelaskan dalam Imamat 11. Sebaliknya, ini berfokus pada perdebatan antara Yesus dan orang Farisi tentang tradisi Yahudi yang tidak ada hubungannya dengan hukum makanan. Orang Farisi dan ahli-ahli Taurat memperhatikan bahwa murid-murid Yesus tidak melakukan pencucian tangan seremonial sebelum makan, yang dalam bahasa Ibrani disebut netilat yadayim (נטילת ידיים). Ritual ini melibatkan mencuci tangan dengan doa dan merupakan praktik tradisional yang tetap diamati oleh komunitas Yahudi hingga saat ini, terutama dalam lingkup ortodoks.
Keprihatinan orang Farisi bukanlah tentang hukum makanan Tuhan, melainkan tentang ketaatan terhadap tradisi buatan manusia ini. Mereka menganggap kegagalan murid-murid untuk menjalankan ritual ini sebagai pelanggaran terhadap adat mereka, yang disamakan dengan kenajisan.
RESPON YESUS: HATI LEBIH PENTING
Yesus menghabiskan banyak waktu dalam Markus 7 untuk mengajarkan bahwa apa yang benar-benar menajiskan seseorang bukanlah praktik eksternal atau tradisi, tetapi kondisi hati. Dia menekankan bahwa kenajisan rohani berasal dari dalam, dari pikiran dan tindakan yang berdosa, bukan dari kegagalan dalam menjalankan ritual seremonial.
Ketika Yesus menjelaskan bahwa makanan tidak menajiskan seseorang karena masuk ke dalam sistem pencernaan dan bukan ke dalam hati, Dia tidak sedang membahas hukum makanan, tetapi lebih kepada tradisi pencucian tangan seremonial. Fokus-Nya adalah pada kemurnian internal daripada ritual eksternal.
PENJELASAN MENDALAM TENTANG MARKUS 7:19
Markus 7:19 sering disalahpahami karena tidak adanya catatan penjelasan yang disisipkan oleh para penerbit Alkitab ke dalam teks tersebut, yang menyatakan: “Dengan itu Ia menyatakan semua makanan itu tahir.” Dalam teks bahasa Yunani, kalimat tersebut hanya berbunyi: “οτι ουκ εισπορευεται αυτου εις την καρδιαν αλλ εις την κοιλιαν και εις τον αφεδρωνα εκπορευεται καθαριζον παντα τα βρωματα,” yang secara harfiah berarti: “Karena ia tidak masuk ke dalam hati, tetapi ke dalam perut, dan keluar ke jamban, menyucikan semua makanan. ”
Membaca: “keluar ke jamban, memurnikan semua makanan” dan menerjemahkannya menjadi: “Dengan ini dia menyatakan semua makanan murni” adalah upaya terang-terangan untuk memanipulasi teks agar sesuai dengan bias umum terhadap Hukum Tuhan di seminari dan penjual Alkitab.
Yang lebih masuk akal adalah bahwa seluruh kalimat tersebut adalah Yesus menjelaskan proses makan dalam bahasa sehari-hari pada saat itu. Sistem pencernaan mencerna makanan, mengekstrak nutrisi dan komponen-komponen bermanfaat yang dibutuhkan tubuh (bagian yang bersih), dan kemudian mengeluarkan sisanya sebagai limbah. Ungkapan “memurnikan semua makanan” mungkin merujuk pada proses alamiah untuk memisahkan nutrisi yang berguna dari yang akan dibuang.
KESIMPULAN TENTANG ARGUMEN PALSU INI
Markus 7:1-23 tidak membahas tentang pembatalan hukum makanan Tuhan, melainkan tentang penolakan terhadap tradisi manusia yang lebih mementingkan ritual eksternal daripada hal-hal yang berkaitan dengan hati. Yesus mengajarkan bahwa kenajisan sejati berasal dari dalam, bukan dari kegagalan menjalankan ritual cuci tangan seremonial. Klaim bahwa “Yesus menyatakan semua makanan halal” adalah salah tafsir yang berakar pada bias terhadap hukum Tuhan yang kekal. Dengan membaca konteks dan bahasa asli secara cermat, menjadi jelas bahwa Yesus menegakkan ajaran Taurat dan tidak menolak hukum makanan yang diberikan oleh Tuhan.
ARGUMEN PALSU: “Dalam sebuah penglihatan, Tuhan berkata kepada rasul Petrus bahwa kita sekarang boleh memakan daging dari binatang apa pun.”
FAKTA: Banyak orang mengutip penglihatan Petrus dalam Kisah Para Rasul 10 sebagai bukti bahwa Tuhan membatalkan hukum makanan tentang binatang haram. Namun, pemeriksaan yang lebih cermat terhadap konteks dan tujuan penglihatan tersebut menunjukkan bahwa hal itu sama sekali tidak berkaitan dengan pembatalan hukum tentang makanan halal dan haram. Sebaliknya, penglihatan itu dimaksudkan untuk mengajarkan Petrus menerima bangsa-bangsa non-Yahudi ke dalam umat Tuhan, bukan untuk mengubah perintah makanan yang telah diberikan oleh Tuhan.
PENGERTIAN PENGELIHATAN PETRUS DAN TUJUANNYA
Dalam Kisah Para Rasul 10, Petrus menerima penglihatan tentang selembar kain yang turun dari surga, berisi berbagai jenis binatang, baik yang halal maupun haram, disertai perintah untuk “sembelih dan makan.” Respons langsung Petrus sangat jelas:
“Tidak mungkin, Tuhan! Aku belum pernah makan sesuatu yang haram atau najis” (Kisah Para Rasul 10:14).
Respons ini penting karena beberapa alasan:
- Ketaatan Petrus terhadap Hukum Makanan
Penglihatan ini terjadi setelah kenaikan Yesus dan pencurahan Roh Kudus di hari Pentakosta. Jika Yesus telah membatalkan hukum makanan selama pelayanan-Nya, Petrus—seorang murid dekat Yesus—pasti akan mengetahuinya dan tidak akan begitu keras menolak. Fakta bahwa Petrus menolak untuk memakan binatang haram menunjukkan bahwa dia masih mematuhi hukum makanan dan tidak memahami bahwa hukum itu telah dibatalkan. - Pesan Sesungguhnya dari Penglihatan Itu
Penglihatan itu diulang tiga kali, menekankan pentingnya pesan tersebut. Namun, makna sebenarnya dijelaskan beberapa ayat kemudian ketika Petrus mengunjungi rumah Kornelius, seorang non-Yahudi. Petrus sendiri menjelaskan arti penglihatan itu:
“Tuhan telah menunjukkan kepadaku bahwa aku tidak boleh menyebut seseorang najis atau haram” (Kisah Para Rasul 10:28).
Penglihatan itu sama sekali bukan tentang makanan, melainkan pesan simbolis. Tuhan menggunakan gambaran binatang halal dan haram untuk mengajarkan Petrus bahwa penghalang antara Yahudi dan non-Yahudi telah dihapus, dan bangsa-bangsa non-Yahudi sekarang dapat diterima dalam komunitas perjanjian Tuhan.
INKONSISTENSI LOGIS DENGAN ARGUMEN “HUKUM MAKANAN DIBATALKAN”
Mengklaim bahwa penglihatan Petrus membatalkan hukum makanan mengabaikan beberapa poin penting:
- Penolakan Awal Petrus
Jika hukum makanan sudah dibatalkan, penolakan Petrus tidak masuk akal. Kata-katanya mencerminkan ketaatan yang terus berlanjut terhadap hukum tersebut, bahkan setelah bertahun-tahun mengikuti Yesus. - Tidak Ada Bukti Alkitabiah Tentang Pembatalan
Tidak ada satu pun bagian dalam Kisah Para Rasul 10 yang secara eksplisit menyatakan bahwa hukum makanan dibatalkan. Fokus utama adalah tentang penerimaan bangsa-bangsa non-Yahudi, bukan redefinisi makanan halal dan haram. - Simbolisme dalam Penglihatan
Tujuan penglihatan menjadi jelas dalam penerapannya. Ketika Petrus menyadari bahwa Tuhan tidak membeda-bedakan orang tetapi menerima setiap bangsa yang takut kepada-Nya dan melakukan yang benar (Kisah Para Rasul 10:34-35), jelas bahwa penglihatan itu berkaitan dengan menghapus prasangka, bukan aturan makanan. - Kontradiksi dalam Penafsiran
Jika penglihatan itu tentang pembatalan hukum makanan, maka hal itu akan bertentangan dengan konteks Kisah Para Rasul yang lebih luas, di mana para orang percaya Yahudi, termasuk Petrus, terus mematuhi ajaran Taurat. Lebih jauh, penglihatan itu akan kehilangan kekuatan simbolisnya jika ditafsirkan secara harfiah, karena itu hanya akan membahas praktik makanan, bukan isu yang lebih signifikan yaitu penerimaan bangsa-bangsa non-Yahudi.
KESIMPULAN TENTANG ARGUMEN PALSU INI
Penglihatan Petrus dalam Kisah Para Rasul 10 bukan tentang makanan tetapi tentang manusia. Tuhan menggunakan gambaran binatang halal dan haram untuk menyampaikan kebenaran spiritual yang lebih mendalam: bahwa Injil adalah untuk semua bangsa dan bangsa-bangsa non-Yahudi tidak lagi dianggap najis atau dikecualikan dari umat Tuhan. Menafsirkan penglihatan ini sebagai pembatalan hukum makanan adalah kesalahpahaman baik terhadap konteks maupun tujuan dari bagian tersebut.
Instruksi makanan yang diberikan oleh Tuhan dalam Imamat 11 tetap tidak berubah dan tidak pernah menjadi fokus penglihatan ini. Tindakan dan penjelasan Petrus sendiri mengkonfirmasi hal ini. Pesan sejati dari penglihatan itu adalah tentang menghapus penghalang antar manusia, bukan mengubah hukum Tuhan yang kekal.
ARGUMEN PALSU: “Konsili Yerusalem memutuskan bahwa orang bukan Yahudi boleh makan apa saja selama tidak dicekik dan dengan darah.”
FAKTA: Konsili Yerusalem (Kisah Para Rasul 15) sering disalahartikan sebagai keputusan yang memberikan izin kepada orang bukan Yahudi untuk mengabaikan sebagian besar perintah Tuhan dan hanya mengikuti empat persyaratan dasar. Namun, pemeriksaan yang lebih teliti menunjukkan bahwa konsili ini tidak membatalkan hukum Tuhan untuk orang bukan Yahudi, melainkan mempermudah partisipasi awal mereka dalam komunitas Yahudi Mesianik.
APA TUJUAN KONSILI YERUSALEM?
Pertanyaan utama yang dibahas dalam konsili ini adalah apakah orang bukan Yahudi harus sepenuhnya mematuhi seluruh Taurat—termasuk sunat—sebelum mereka diizinkan mendengar Injil dan berpartisipasi dalam pertemuan jemaat Mesianik pertama.
Selama berabad-abad, tradisi Yahudi menyatakan bahwa orang bukan Yahudi harus menjadi pengikut Taurat sepenuhnya, termasuk mengadopsi praktik seperti sunat, memelihara Sabat, hukum makanan, dan perintah lainnya, sebelum seorang Yahudi dapat berinteraksi secara bebas dengan mereka (lihat Matius 10:5-6; Yohanes 4:9; Kisah Para Rasul 10:28). Keputusan konsili ini menandai perubahan, mengakui bahwa orang bukan Yahudi dapat memulai perjalanan iman mereka tanpa segera mengikuti semua hukum ini.
EMPAT PERSYARATAN AWAL UNTUK KEHARMONISAN
Konsili memutuskan bahwa orang bukan Yahudi dapat menghadiri pertemuan jemaat sebagaimana adanya, asalkan mereka menghindari praktik-praktik berikut (Kisah Para Rasul 15:20):
- Makanan yang Dikorbankan kepada Berhala: Hindari makanan yang dikorbankan kepada berhala, karena penyembahan berhala sangat menyinggung orang percaya Yahudi.
- Pelecehan Seksual: Jauhi dosa seksual, yang umum dalam praktik pagan.
- Daging dari Binatang yang Dicekik: Hindari makan binatang yang dibunuh dengan cara dicekik, karena ini menyisakan darah, yang dilarang dalam hukum makanan Tuhan.
- Darah: Hindari mengonsumsi darah, suatu praktik yang dilarang dalam Taurat (Imamat 17:10-12).
Persyaratan ini bukan ringkasan dari semua hukum yang harus ditaati oleh orang bukan Yahudi. Sebaliknya, persyaratan ini menjadi titik awal untuk memastikan perdamaian dan kesatuan antara orang percaya Yahudi dan bukan Yahudi dalam jemaat campuran.
APA YANG TIDAK DIMAKSUDKAN DENGAN KEPUTUSAN INI
Adalah tidak masuk akal untuk mengklaim bahwa empat persyaratan ini adalah satu-satunya hukum yang harus ditaati oleh orang bukan Yahudi untuk menyenangkan Tuhan dan menerima keselamatan.
- Apakah orang bukan Yahudi bebas melanggar Sepuluh Perintah Tuhan?
- Apakah mereka boleh menyembah allah lain, menggunakan nama Tuhan dengan sembarangan, mencuri, atau membunuh? Tentu saja tidak. Kesimpulan semacam itu bertentangan dengan semua yang diajarkan Kitab Suci tentang harapan Tuhan akan kebenaran.
- Titik Awal, Bukan Titik Akhir:
- Konsili ini membahas kebutuhan langsung untuk memungkinkan orang bukan Yahudi berpartisipasi dalam pertemuan Mesianik. Diasumsikan bahwa mereka akan tumbuh dalam pengetahuan dan ketaatan seiring waktu.
KISAH PARA RASUL 15:21 MEMBERIKAN KEJELASAN
Keputusan konsili ini dijelaskan lebih lanjut dalam Kisah Para Rasul 15:21:
“Sebab sejak zaman dahulu hukum Musa TauratTaurat diberitakan di setiap kota dan dibacakan di rumah-rumah ibadat setiap hari Sabat.”
Ayat ini menunjukkan bahwa orang bukan Yahudi akan terus belajar hukum Tuhan saat mereka menghadiri sinagoga dan mendengar Taurat. Konsili ini tidak membatalkan perintah Tuhan, melainkan menetapkan pendekatan praktis bagi orang bukan Yahudi untuk memulai perjalanan iman mereka tanpa kewalahan.
KONTEKS AJARAN YESUS
Yesus sendiri menekankan pentingnya perintah Tuhan. Misalnya, dalam Matius 19:17 dan Lukas 11:28, serta dalam seluruh Khotbah di Bukit (Matius 5-7), Yesus menegaskan perlunya mengikuti hukum Tuhan, seperti tidak membunuh, tidak berzinah, mencintai sesama, dan banyak lainnya. Prinsip-prinsip ini adalah dasar dan tidak mungkin diabaikan oleh para rasul.
KESIMPULAN TENTANG ARGUMEN PALSU INI
Konsili Yerusalem tidak menyatakan bahwa orang bukan Yahudi boleh makan apa saja atau mengabaikan perintah Tuhan. Konsili ini membahas masalah spesifik: bagaimana orang bukan Yahudi dapat mulai berpartisipasi dalam jemaat Mesianik tanpa segera mengadopsi setiap aspek Taurat. Keempat persyaratan itu adalah langkah-langkah praktis untuk mempromosikan harmoni dalam komunitas Yahudi-bukan Yahudi yang bercampur.
Harapan itu jelas: orang bukan Yahudi akan bertumbuh dalam pemahaman mereka tentang hukum Tuhan seiring waktu melalui pengajaran Taurat, yang dibacakan di sinagoga setiap hari Sabat. Mengusulkan sebaliknya berarti salah menafsirkan tujuan konsili dan mengabaikan ajaran Kitab Suci yang lebih luas.
ARGUMEN PALSU: “Rasul Paulus mengajarkan bahwa Kristus membatalkan keharusan menaati hukum Tuhan untuk keselamatan.”
FAKTA: Banyak pemimpin Kristen, jika bukan sebagian besar, secara keliru mengajarkan bahwa Rasul Paulus menentang Hukum Tuhan dan menginstruksikan orang bukan Yahudi untuk mengabaikan perintah-perintah-Nya. Beberapa bahkan menyarankan bahwa ketaatan kepada hukum Tuhan dapat membahayakan keselamatan. Penafsiran ini telah menyebabkan kebingungan teologis yang signifikan.
Para sarjana yang tidak setuju dengan perspektif ini telah bekerja keras untuk mengatasi kontroversi seputar tulisan Paulus, berupaya menunjukkan bahwa ajarannya telah disalahpahami atau diambil di luar konteks terkait Hukum dan keselamatan. Namun, pelayanan kami memiliki posisi yang berbeda.
MENGAPA MENJELASKAN PAULUS BUKAN PENDEKATAN YANG TEPAT
Kami percaya bahwa menjelaskan posisi Paulus terhadap Hukum tidak perlu—dan bahkan menyinggung Tuhan. Melakukan hal itu mengangkat Paulus, seorang manusia biasa, ke status yang setara atau lebih tinggi dari para nabi Tuhan, bahkan Yesus sendiri.
Sebaliknya, pendekatan teologis yang tepat adalah memeriksa apakah Kitab Suci sebelum Paulus meramalkan atau mendukung gagasan bahwa seseorang akan datang setelah Yesus untuk mengajarkan pesan yang membatalkan hukum Tuhan. Jika nubuat penting semacam itu ada, kita memiliki alasan untuk menerima ajaran Paulus dalam hal ini sebagai ditetapkan secara ilahi, dan masuk akal untuk melakukan yang terbaik untuk memahaminya dan mengikutinya.
TIDAK ADANYA NUBUAT TENTANG PAULUS
Kenyataannya adalah bahwa Kitab Suci tidak mengandung nubuat tentang Paulus—atau tokoh lain mana pun—membawa pesan yang membatalkan hukum Tuhan. Satu-satunya individu yang secara eksplisit dinubuatkan dalam Perjanjian Lama yang muncul dalam Perjanjian Baru adalah:
- Yohanes Pembaptis: Perannya sebagai pendahulu Mesias dinubuatkan dan dikonfirmasi oleh Yesus (misalnya, Yesaya 40:3, Maleakhi 4:5-6, Matius 11:14).
- Yudas Iskariot: Referensi tidak langsung ditemukan dalam ayat-ayat seperti Mazmur 41:9 dan Mazmur 69:25.
- Yusuf dari Arimatea: Yesaya 53:9 secara tidak langsung mengacu padanya sebagai orang yang menyediakan makam untuk Yesus.
Di luar individu-individu ini, tidak ada nubuat tentang siapa pun—apalagi seseorang dari Tarsus—yang dikirim untuk membatalkan perintah Tuhan atau mengajarkan bahwa orang bukan Yahudi dapat diselamatkan tanpa ketaatan kepada hukum-Nya yang kekal.
APA YANG YESUS NUBUATKAN SETELAH KENAIKAN-NYA
Yesus membuat banyak nubuat tentang apa yang akan terjadi setelah pelayanan-Nya di dunia, termasuk:
- Kehancuran Bait Suci (Matius 24:2).
- Penganiayaan terhadap murid-murid-Nya (Yohanes 15:20, Matius 10:22).
- Penyebaran pesan Kerajaan ke semua bangsa (Matius 24:14).
Namun, tidak ada penyebutan tentang seseorang dari Tarsus—apalagi Paulus—yang diberi wewenang untuk mengajarkan doktrin baru atau bertentangan mengenai keselamatan dan ketaatan.
UJIAN SEBENARNYA UNTUK TULISAN PAULUS
Ini tidak berarti kita harus mengabaikan tulisan Paulus atau tulisan Petrus, Yohanes, atau Yakobus. Sebaliknya, kita harus mendekati tulisan mereka dengan hati-hati, memastikan bahwa setiap interpretasi selaras dengan Kitab Suci yang mendasar: Hukum dan para Nabi dalam Perjanjian Lama, serta ajaran Yesus dalam Injil.
Masalahnya bukan pada tulisan itu sendiri, tetapi pada interpretasi yang telah dipaksakan oleh para teolog dan pemimpin gereja atas tulisan itu. Setiap interpretasi ajaran Paulus harus didukung oleh:
- Perjanjian Lama: Hukum Tuhan seperti yang diungkapkan melalui para nabi-Nya.
- Keempat Injil: Kata-kata dan tindakan Yesus, yang menjunjung tinggi Hukum.
Jika sebuah interpretasi tidak memenuhi kriteria ini, maka interpretasi itu tidak boleh diterima sebagai kebenaran.
KESIMPULAN TENTANG ARGUMEN PALSU INI
Argumen bahwa Paulus mengajarkan pembatalan hukum Tuhan, termasuk instruksi makanan, tidak didukung oleh Kitab Suci. Tidak ada nubuat yang meramalkan pesan semacam itu, dan Yesus sendiri menjunjung tinggi Hukum. Oleh karena itu, setiap ajaran yang mengklaim sebaliknya harus diteliti dengan cermat terhadap Firman Tuhan yang tidak berubah.
Sebagai pengikut Mesias, kita dipanggil untuk mencari keselarasan dengan apa yang telah ditulis dan diungkapkan oleh Tuhan, bukan mengandalkan interpretasi yang bertentangan dengan perintah-Nya yang kekal.
DAGING-DAGING YANG DILARANG MENURUT HUKUM TUHAN
Hukum makanan yang diberikan Tuhan, sebagaimana tercantum dalam Torah, secara spesifik menetapkan hewan-hewan yang boleh dan tidak boleh dimakan oleh umat-Nya. Instruksi ini menekankan kesucian, ketaatan, dan pemisahan dari praktik-praktik yang mencemarkan. Berikut adalah daftar rinci daging-daging yang dilarang beserta referensi Alkitabnya.
- HEWAN DARAT YANG TIDAK MEMAKAN KUNYAHAN ATAU TIDAK BERCELAH KUKUNYA
- Hewan dianggap najis jika tidak memiliki salah satu atau kedua ciri ini.
- Contoh Hewan yang Dilarang:
- Unta (gamal, גָּמָל) – Memakan kunyahan tetapi tidak memiliki celah kukunya (Imamat 11:4).
- Marmot (shafan, שָּׁפָן) – Memakan kunyahan tetapi tidak memiliki celah kukunya (Imamat 11:5).
- Kelinci (arnevet, אַרְנֶבֶת) – Memakan kunyahan tetapi tidak memiliki celah kukunya (Imamat 11:6).
- Babi (chazir, חֲזִיר) – Memiliki celah kukunya tetapi tidak memakan kunyahan (Imamat 11:7).
- MAKHLUK AIR TANPA SIRIP DAN SISIK
- Hanya ikan yang memiliki sirip dan sisik yang diperbolehkan. Makhluk yang tidak memiliki salah satu atau keduanya dianggap najis.
- Contoh Makhluk yang Dilarang:
- Lele – Tidak memiliki sisik.
- Kerang – Termasuk udang, kepiting, lobster, dan tiram.
- Belut – Tidak memiliki sirip dan sisik.
- Cumi-cumi dan Gurita – Tidak memiliki sirip maupun sisik (Imamat 11:9-12).
- BURUNG PEMANGSA, PEMAKAN BANGKAI, DAN BURUNG TERLARANG LAINNYA
- Hukum menetapkan burung-burung tertentu yang tidak boleh dimakan, biasanya yang berperilaku sebagai pemangsa atau pemakan bangkai.
- Contoh Burung yang Dilarang:
- Elang (nesher, נֶשֶׁר) (Imamat 11:13).
- Burung Nasar (da’ah, דַּאָה) (Imamat 11:14).
- Gagak (orev, עֹרֵב) (Imamat 11:15).
- Burung Hantu, Elang, Kormoran, dan lainnya (Imamat 11:16-19).
- SERANGGA TERBANG YANG BERJALAN DENGAN EMPAT KAKI
- Serangga terbang umumnya najis kecuali memiliki kaki beruas-ruas untuk melompat.
- Contoh Serangga yang Dilarang:
- Lalat, nyamuk, dan kumbang.
- Namun, belalang dan jenis serangga melompat lainnya diperbolehkan (Imamat 11:20-23).
- HEWAN YANG MERAYAP DI TANAH
- Makhluk apa pun yang bergerak dengan perutnya atau memiliki banyak kaki dan merayap di tanah dianggap najis.
- Contoh Makhluk yang Dilarang:
- Ular.
- Kadal.
- Tikus dan tikus mondok (Imamat 11:29-30, 11:41-42).
- BANGKAI ATAU HEWAN YANG MATI SECARA ALAMIAH
- Bahkan dari hewan yang halal, bangkai yang mati dengan sendirinya atau diterkam oleh predator dilarang untuk dimakan.
- Referensi: Imamat 11:39-40, Keluaran 22:31.
- PENYILANGAN SPESIES
- Meskipun tidak secara langsung terkait dengan makanan, penyilangan spesies dilarang, yang menyiratkan perhatian dalam praktik produksi pangan.
- Referensi: Imamat 19:19.
Instruksi-instruksi ini menunjukkan keinginan Tuhan agar umat-Nya tetap berbeda, menghormati-Nya bahkan dalam pilihan makanan mereka. Dengan menaati hukum ini, para pengikut-Nya menunjukkan ketaatan dan penghormatan terhadap kesucian perintah-perintah-Nya.